Mengapa Orang Tua Beri Smartphone ke Anak Meski Tahu Itu Terlalu Dini?

Arintha Widya - Kamis, 7 Agustus 2025
Kenapa orang tua memberikan smartphone terlalu dini ke anak?
Kenapa orang tua memberikan smartphone terlalu dini ke anak? Chong Kee Siong

Parapuan.co - Meski banyak orang tua sadar bahwa memberikan smartphone terlalu dini bisa berdampak negatif bagi anak, kenyataannya tidak sedikit yang tetap melakukannya. Di tengah gempuran teknologi dan tekanan sosial yang makin kuat, keputusan untuk memberikan ponsel pintar sering kali bukan soal kebutuhan semata, melainkan soal rasa takut akan ketertinggalan sosial.

Banyak orang tua menghadapi permintaan dari anak sejak usia dini. Bahkan, tak sedikit anak meminta gawai atau ponsel sendiri di sebelum masuk sekolah. Anak-anak sering beralasan, "Tapi semua temanku punya ponsel!"

Meski keluarga atau orang tua biasanya memilih untuk menunggu hingga sang anak setidaknya sudah masuk SD, tidak semua orang tua memiliki ketegasan yang sama. Lantas, apa sebenarnya yang membuat orang tua memberikan ponsel pintar ke anak meski sadar itu terlalu dini? Simak uraiannya melansir Parents!

Tekanan Sosial Bukan Hanya Milik Anak

Menurut sebuah studi di Spanyol, banyak orang tua anak usia 12 hingga 16 tahun memberikan smartphone bukan karena kebutuhan, melainkan karena takut anaknya dikucilkan. Uniknya, tekanan ini lebih banyak dirasakan oleh orang tua yang memiliki anak perempuan.

"Tekanan dari teman sebaya itu sangat nyata," ujar Melanie Hempe, BSN, pendiri ScreenStrong, platform edukasi untuk keluarga terkait risiko kecanduan layar.

Ia juga mengingatkan, "Semakin Anda memahami proses kecanduan dan dampaknya pada otak anak, Anda akan semakin yakin dengan keputusan untuk menunda."

Melanie Hempe menekankan pentingnya berani mengambil keputusan berdasarkan intuisi orang tua, bukan karena tekanan sekitar. "Anda harus merasa cukup nyaman melakukan hal yang menurut Anda benar, meski bertentangan dengan tren," katanya.

Ketika Alasan Kesehatan Mental dan Keselamatan Tak Lagi Cukup Kuat

Baca Juga: Selain Batasi Screen Time, Ini Cara Mengelola Dampak Negatif Digital Parenting pada Anak

Masalah sebenarnya bukan hanya soal screen time. Penelitian yang diterbitkan di JAMA tahun 2025 menyebutkan bahwa penggunaan media sosial pada masa remaja awal berkaitan dengan gejala depresi satu tahun kemudian. Ini bisa terjadi akibat perbandingan sosial, perundungan daring, gangguan tidur, hingga paparan konten negatif.

Masalah serius lain adalah risiko kejahatan seksual daring. Studi dari Crimes Against Children Research Center menyebut hampir 16% remaja dewasa muda mengaku pernah menjadi korban pelecehan seksual secara daring sebelum berusia 18 tahun.

Tak kalah penting, risiko kecanduan terhadap perangkat digital juga terus meningkat. Psikolog Dr. Jonathan Haidt menjelaskan bahwa dopamin tak hanya memunculkan rasa senang, tapi juga memicu keinginan berulang.

"Perangkat layar sentuh ini adalah alat penghantar dopamin tercepat yang pernah diciptakan untuk anak-anak," ujar Dr. Jonathan Haidt, psikolog sosial dan penulis The Anxious Generation

Saat Terlanjur Diberikan, Mundur Jadi Lebih Sulit

"Begitu Anda menyerah dan memberikan iPhone atau iPad, waktu tanpa perangkat akan terasa sangat membosankan bagi anak. Mereka akan makin keras menuntut,” tambah Dr. Haidt.

Meskipun ada sisi positif dari teknologi, sangat penting bagi orang tua untuk memutuskan kapan anak betul-betul siap secara mental dan emosional untuk memilikinya.

Itu sebabnya Dr. Haidt menyarankan agar anak tidak memiliki smartphone sebelum masuk SMA dan tidak menggunakan media sosial sebelum usia 16 tahun.

Cara Menghindari Tekanan dan Menunda dengan Bijak

Baca Juga: Selain Batasi Screen Time, Ini Cara Mengelola Dampak Negatif Digital Parenting pada Anak

Bagi orang tua yang ingin menunda pemberian smartphone, berikut beberapa cara yang disarankan:

1. Tegas dan konsisten: Bangun komunikasi terbuka dengan anak mengenai alasan dan risiko dari penggunaan smartphone. Ucapkan dengan tegas, "Aku orang tuamu, tugas utamaku adalah menjaga kamu tetap aman", atau
"Di keluarga kita, anak baru boleh punya ponsel setelah masuk SMA."

2. Cari komunitas yang sejalan: Bergabung dengan komunitas atau platform seperti Osprey untuk membantu memperkuat dukungan sosial bagi keluarga yang menunda smartphone. Ini juga mencegah anak merasa “satu-satunya” yang berbeda.

3. Fokus pada bermain dan eksplorasi dunia nyata: "Biarkan anak menemukan bahwa dunia nyata menyenangkan dan penuh kejutan," kata Dr. Haidt. Ia juga menekankan pentingnya memberi contoh, seperti menyingkirkan ponsel saat bersama keluarga.

4. Gunakan alternatif non-smartphone: Banyak orang tua kini memilih smartwatch atau alat pelacak GPS seperti BoT Talk sebagai alternatif. Beberapa bahkan kembali menggunakan telepon rumah nirkabel agar anak tetap bisa berkomunikasi, termasuk untuk keadaan darurat.

Smartphone Bukan Sekadar Alat, Tapi Tanggung Jawab

Membekali anak dengan smartphone bukan sekadar memenuhi keinginan atau mengikuti tren. Ini soal kesiapan mental, kontrol emosi, dan pemahaman akan risiko yang mengintai.

Alih-alih langsung memberikan, lebih baik berinvestasi dalam edukasi, komunikasi, dan penciptaan lingkungan sosial yang sehat bagi anak.

Sebab, seperti kata Dr. Haidt, "Tidak cukup hanya mengambil layar dari mereka, tapi kita juga harus memberikan mereka masa kecil di dunia nyata."

Baca Juga: Dari Screen Time ke Quality Time, Trik Bangun Kedekatan dengan Remaja di Era Digital

(*)

Sumber: Parents
Penulis:
Editor: Arintha Widya