Laporan Ini Sebut Produktivitas Pekerja di Indonesia Kurang Efisien, Kenapa?

Arintha Widya - Rabu, 30 Juli 2025
Produktivitas pekerja di Indonesia kurang optimal menurut laporan ini.
Produktivitas pekerja di Indonesia kurang optimal menurut laporan ini. PonyWang

Parapuan.co - Perubahan besar sedang melanda dunia kerja. Di tengah ketidakpastian akibat dinamika geopolitik, tekanan ekonomi, dan isu keberlanjutan lingkungan, perusahaan-perusahaan kini dituntut untuk menjawab pertanyaan krusial: bagaimana mereka bisa terus bertumbuh tanpa kehilangan arah strategis?

Laporan Global Talent Trends 2024–2025 yang dirilis oleh Mercer memberi gambaran jelas mengenai arah perkembangan ini. Para pelaku bisnis masih memandang pertumbuhan sebagai hal yang mungkin dicapai. Namun, mereka menyadari bahwa hal itu hanya bisa terwujud jika didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang siap bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara budaya dan mental.

"Pertanyaannya bukan hanya bagaimana teknologi bisa membantu kita, tapi bagaimana kita bisa memastikan orang-orang kita ikut bertumbuh bersama perubahan itu," ungkap Isdar Marwan, Market Leader, Mercer Indonesia dalam pernyataan resminya, Sabtu (26/7/2025), dikutip dari Kompas.com.

Dari keterangan tersebut, laporan ini juga mencatat bahwa banyak pekerja di Indonesia kurang optimal produktivitasnya dan kurang efisien. Mengapa demikian? Simak hal-hal yang melatarbelakanginya!

1. Produktivitas Harus Berakar dari SDM

Meski konsep produktivitas sudah lama menjadi perhatian, nyatanya banyak perusahaan masih terjebak dalam aktivitas kerja yang tidak berdampak nyata. Berdasarkan data Mercer, lebih dari 40 persen waktu kerja saat ini dihabiskan untuk tugas-tugas administratif dan repetitif. Padahal, dunia kerja kini lebih membutuhkan kreativitas, kemampuan beradaptasi, dan kolaborasi yang efektif.

"Pekerjaan kita terlihat sibuk, tapi sering kali tidak efektif. Yang dikejar angka, tapi lupa bahwa produktivitas terbaik lahir dari orang-orang yang merasa dihargai dan diberi ruang berpikir," ujar Isdar Marwan.

2. Krisis Kepercayaan di Kalangan Karyawan

Tingkat kepercayaan karyawan terhadap perusahaan mengalami penurunan. Hanya 69 persen responden global percaya bahwa perusahaan mereka akan "melakukan hal yang benar" untuk karyawan—angka ini turun cukup signifikan dibanding dua tahun lalu. Persoalannya bukan semata pada gaji, tetapi juga pada praktik manajerial yang dirasa tidak adil atau tidak transparan.

Baca Juga: Mengantuk Saat Kerja Kurangi Produktivitas, Ini Penyebab dan Solusinya

"Begitu kepercayaan itu hilang, sulit membangun semangat kerja yang tulus. Orang jadi datang kerja hanya untuk menggugurkan kewajiban," kata Isdar Marwan.

3. Kesejahteraan dan Risiko Burnout

Kesehatan fisik dan mental karyawan menjadi tantangan baru. Delapan dari sepuluh pekerja global mengaku berisiko mengalami burnout. Tekanan pekerjaan, kompleksitas sistem kerja, dan beban hidup semakin berat. Karena itu, perusahaan didorong untuk meninjau ulang sistem kerja demi mendukung keberlangsungan tenaga kerja—mulai dari pengaturan waktu kerja yang lebih manusiawi hingga menyediakan ruang untuk istirahat dan pembelajaran.

"Bicara well-being bukan berarti fasilitas mewah. Kadang, cuma soal bagaimana kita menghargai waktu dan ruang pribadi karyawan," jelas Isdar Marwan.

4. Pengembangan SDM Lebih Efektif daripada Rekrutmen

Daripada terus-menerus mencari talenta baru yang semakin mahal dan sulit dijangkau, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah dengan mengembangkan talenta yang sudah ada di dalam organisasi. Laporan Mercer menunjukkan bahwa perusahaan yang konsisten dalam peningkatan keterampilan karyawan akan lebih siap menghadapi tantangan jangka panjang.

"Kalau kita ingin orang bertumbuh, kita harus bantu mereka merasa pertumbuhan itu dihargai," lanjut Isdar Marwan.

5. Peran Teknologi Harus Memanusiakan

Kemajuan teknologi tentu penting, terutama dalam mendukung efisiensi kerja. Namun, elemen-elemen manusiawi seperti empati, pengambilan keputusan bijak, dan relasi antarmanusia tetap tak tergantikan. Justru, teknologi seharusnya berfungsi sebagai jembatan—bukan menciptakan jurang baru dalam interaksi kerja.

Baca Juga: Mendorong Budaya Kerja Inklusif Lewat Ketentuan Paternity dan Maternity Leave

6. Budaya Kerja yang Konsisten

Budaya kerja yang kuat tidak bisa hanya menjadi jargon atau kutipan manis di dinding kantor. Ia harus terlihat dalam sikap pemimpin, proses promosi, hingga sistem evaluasi kerja. Sayangnya, banyak perusahaan masih belum menanamkan nilai-nilai budaya ini secara nyata dan menyeluruh.

"Kalau kita mau bicara budaya, ukurannya bukan seberapa bagus kalimatnya, tapi seberapa nyata dijalankan," ungkap Isdar Marwan lagi.

Laporan ini menyiratkan bahwa membangun masa depan kerja tidak cukup hanya dengan mengandalkan teknologi atau target pertumbuhan. Dibutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh—memadukan kejelasan visi, kepercayaan antara karyawan dan perusahaan, serta komitmen untuk memanusiakan tempat kerja.

Perusahaan yang berani berinvestasi pada manusianya dan menjalankan prinsip keadilan serta empati akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan, seberat apa pun itu.

(*)

Penulis:
Editor: Arintha Widya