Menolak Penyangkalan Kekerasan Seksual dalam Tragedi Kelam Mei 1998

Arintha Widya - Senin, 16 Juni 2025
Menolak penyangkalan terhadap tragedi pemerkosaan yang terjadi Mei 1998.
Menolak penyangkalan terhadap tragedi pemerkosaan yang terjadi Mei 1998. iStockphoto

Lebih dari dua dekade berlalu, namun luka para penyintas belum sepenuhnya sembuh. Tak sedikit dari mereka yang memilih diam, menanggung trauma dalam senyap karena tekanan sosial dan budaya. Ketika pejabat negara meragukan kebenaran tragedi ini, bukan hanya kebenaran yang disangkal, tetapi juga keberadaan para korban yang selama ini berjuang dalam senyap.

"Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas," tegas Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa dokumen TGPF adalah produk resmi negara. Menyangkalnya berarti mencederai jerih payah kolektif bangsa untuk menapak jalan keadilan. Lebih dari itu, ini mencerminkan lemahnya komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia dan keberpihakan pada korban.

“Pengakuan atas kebenaran merupakan pondasi penting bagi proses pemulihan yang adil dan bermartabat. Kami mendorong agar pernyataan tersebut dapat ditarik dan disampaikan permintaan maaf kepada penyintas dan masyarakat, sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia,” ujar Yuni Asriyanti, Komisioner Komnas Perempuan.

Suara Perempuan adalah Pilar Keadilan

Terkadang, kekerasan terbesar bukan hanya yang berbentuk fisik, tetapi juga penyangkalan sistemik yang membuat korban merasa tidak pernah dipercaya. Saat inilah penting bagi kita—khususnya perempuan—untuk bersatu, menyuarakan kebenaran, dan menolak pembungkaman sejarah. Ketika kita bersuara, kita tidak hanya membela penyintas masa lalu, tetapi juga mencegah terulangnya kekerasan di masa depan.

"Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pejabat negara untuk menghormati kerja-kerja pendokumentasian resmi, memegang teguh komitmen HAM, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat," imbuh Sondang Frishka Simanjuntak, wakil ketua transisi Komnas Perempuan.

Kita tidak bisa terus membiarkan tragedi ini dibisukan. Sejarah kelam tidak untuk dilupakan, melainkan untuk diakui, dipulihkan, dan dijadikan pelajaran agar bangsa ini tak kembali jatuh pada jurang yang sama.

Sekaranglah saatnya perempuan Indonesia bersuara. Jangan biarkan luka yang sudah terbuka, kembali ditutup dengan narasi keliru dan pengabaian. Keadilan bukan sekadar hak korban—ia adalah cermin kemanusiaan kita sebagai bangsa.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Jepara Terkuak, Ini Kata Menteri PPPA

(*)