Menolak Penyangkalan Kekerasan Seksual dalam Tragedi Kelam Mei 1998

Arintha Widya - Senin, 16 Juni 2025
Menolak penyangkalan terhadap tragedi pemerkosaan yang terjadi Mei 1998.
Menolak penyangkalan terhadap tragedi pemerkosaan yang terjadi Mei 1998. iStockphoto

Parapuan.co - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 memantik kekecewaan dan luka lama, bukan hanya bagi para penyintas, tetapi juga bagi mereka yang selama ini memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Belum lama ini, Fadli Zon mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait pemerkosaan massal yang pernah terjadi pada 1998 silam. Melansir Kompas.com, Senin (8/6/2025) di sebuah acara, Fadli Zon mengatakan, "Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada."

Pernyataan Fadli Zon langsung dibantah oleh sejarawan sekaligus aktivis perempuan Ita Fatia Nadia. Dalam sebuah konferensi pers daring, Jumat (13/6/2025) kemarin, Ita menyebut apa yang disampaikan Fadli Zon adalah dusta.

"Jadi apa yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, itu adalah sebuah dusta. Untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban. Tetapi justru dia menegasikan, menyangkal tentang peristiwa perkosaan Mei 1998," kata Ita. "Itu lewat temuan rekomendasi PPHAM (Perempuan Pembela HAM - red.). Itu bisa dilihat dan di situ ada tentang perkosaan Mei 1998."

Senada dengan itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui siaran persnya juga menilai bahwa penyangkalan ini tidak sekadar bertolak belakang dengan data dan dokumen resmi negara, tetapi juga berisiko memperpanjang impunitas serta menjauhkan kita dari proses pemulihan yang menyeluruh.

Komnas Perempuan menyatakan keprihatinan dan mengingatkan kembali bahwa hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mengungkapkan adanya “85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.”

Temuan ini telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181 Tahun 1998. Lebih jauh, TGPF dibentuk melalui Keputusan Bersama lima pejabat tinggi negara pada 23 Juli 1998, sebagai perintah langsung dari Presiden.

TGPF menjadi instrumen legal pemerintah untuk mengungkap fakta kerusuhan Mei, termasuk pelanggaran HAM berat. Salah satu rekomendasi pentingnya telah ditindaklanjuti lewat pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justisia Komnas HAM, yang menyimpulkan bahwa ada “bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.”

Luka yang Belum Sembuh, Jangan Ditambal dengan Penyangkalan

Baca Juga: KemenPPPA Turut Kawal Kasus Kekerasan Seksual yang Melibatkan Oknum Kepolisian

Lebih dari dua dekade berlalu, namun luka para penyintas belum sepenuhnya sembuh. Tak sedikit dari mereka yang memilih diam, menanggung trauma dalam senyap karena tekanan sosial dan budaya. Ketika pejabat negara meragukan kebenaran tragedi ini, bukan hanya kebenaran yang disangkal, tetapi juga keberadaan para korban yang selama ini berjuang dalam senyap.

"Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas," tegas Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa dokumen TGPF adalah produk resmi negara. Menyangkalnya berarti mencederai jerih payah kolektif bangsa untuk menapak jalan keadilan. Lebih dari itu, ini mencerminkan lemahnya komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia dan keberpihakan pada korban.

“Pengakuan atas kebenaran merupakan pondasi penting bagi proses pemulihan yang adil dan bermartabat. Kami mendorong agar pernyataan tersebut dapat ditarik dan disampaikan permintaan maaf kepada penyintas dan masyarakat, sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia,” ujar Yuni Asriyanti, Komisioner Komnas Perempuan.

Suara Perempuan adalah Pilar Keadilan

Terkadang, kekerasan terbesar bukan hanya yang berbentuk fisik, tetapi juga penyangkalan sistemik yang membuat korban merasa tidak pernah dipercaya. Saat inilah penting bagi kita—khususnya perempuan—untuk bersatu, menyuarakan kebenaran, dan menolak pembungkaman sejarah. Ketika kita bersuara, kita tidak hanya membela penyintas masa lalu, tetapi juga mencegah terulangnya kekerasan di masa depan.

"Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pejabat negara untuk menghormati kerja-kerja pendokumentasian resmi, memegang teguh komitmen HAM, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat," imbuh Sondang Frishka Simanjuntak, wakil ketua transisi Komnas Perempuan.

Kita tidak bisa terus membiarkan tragedi ini dibisukan. Sejarah kelam tidak untuk dilupakan, melainkan untuk diakui, dipulihkan, dan dijadikan pelajaran agar bangsa ini tak kembali jatuh pada jurang yang sama.

Sekaranglah saatnya perempuan Indonesia bersuara. Jangan biarkan luka yang sudah terbuka, kembali ditutup dengan narasi keliru dan pengabaian. Keadilan bukan sekadar hak korban—ia adalah cermin kemanusiaan kita sebagai bangsa.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Jepara Terkuak, Ini Kata Menteri PPPA

(*)