Parapuan.co - Dengan semakin populernya budaya kerja dari rumah (WFH), terutama bagi ibu, muncul dua realitas yang bertolak belakang: fleksibilitas dan risiko burnout. Ibu bekerja mendapat keuntungan besar dari waktu yang bisa disesuaikan dan tanpa tekanan perjalanan ke kantor, namun di balik itu menyimpan beban mental yang bisa menumpuk dalam bentuk "invisible work" dan konflik peran.
Pasalnya kita perempuan yang berperan sebagai ibu bekerja dari rumah, mereka menghadapi tumpang tindih antara tanggung jawab pekerjaan dengan pengasuhan anak. Jika tidak dikelola dengan baik, peran ganda ini bukannya menciptakan work life balance, tetapi justru burnout baru.
Fleksibilitas Sejati atau Sekadar Mimpi?
Bekerja dari rumah memungkinkan ibu mengelola pekerjaan sekaligus memantau kebutuhan keluarga secara real-time. Sebuah studi dalam Psychology Today menyebut bahwa invisible work—berupa tugas-tugas rumah tangga dan emosional yang tidak terlihat—sering tidak dibayar, yang menyebabkan kecemasan dan kelelahan.
Waktu yang tersedia selama WFH memberikan ruang untuk beradaptasi dengan kebutuhan anak, tanpa tergesa-gesa oleh perjalanan pagi atau lembur kantor.
Namun, para ahli menunjukkan bahwa fleksibilitas ini bisa jadi pedang bermata dua. WFH bisa mengaburkan batasan antara kehidupan pribadi dan profesional karena tanpa batasan yang tegas, jam kerja, dan tanggung jawab rumah dapat saling bercampur.
Tekanan Mental yang Tak Terlihat
Ibu kerap menggenggam beban mental besar yang disebut mental load—mulai dari penjadwalan kegiatan anak hingga mengawasi stok makanan di rumah. Psychology Today mencatat bahwa tugas tersebut membutuhkan energi mental yang besar, menimbulkan stres, dan menyebabkan kelelahan apabila dipikul oleh satu orang saja.
Kondisi ini semakin diperparah saat tuntutan pekerjaan bagi ibu bertambah, baik dari atasan maupun internal dalam diri sendiri, menciptakan work–family conflict yang mungkin justru akan menurunkan produktivitas dan kebahagiaan perempuan.
Baca Juga: Mental Load yang Dialami Perempuan Setelah Jadi Ibu dan Cara Menghadapinya
Ditambah lagi, survei terbaru yang dilaporkan Parents menyatakan bahwa banyak ibu bahkan tidak menyisakan waktu untuk self‑care, dan bila tanpa disadari, dapat menimbulkan kecemasan dan kelelahan emosional.
Strategi untuk Mencegah Burnout
Agar WFH benar-benar menjadi solusi bukan justru memicu burnout, ada sejumlah hal yang bisa perempuan dengan peran sebagai ibu bekerja lakukan, yaitu.
1. Batasan Waktu dan Ruang: Tetapkan jam kerja yang tetap dan ruang khusus agar peran “ibu” dan “pekerja” tidak saling tumpang tindih.
2. Membagi Tugas: Libatkan pasangan atau anggota keluarga lain untuk mengurangi mental load dan invisible work.
3. Self‑Care Terjadwal: Buat jeda singkat harian untuk istirahat, meditasi, atau aktivitas fisik, tanpa rasa bersalah.
4. Sosialisasi dan Dukungan: Jalin koneksi dengan teman, grup dukungan untuk ibu, atau konselor agar tidak merasa sendirian. Bila memungkinkan, anak balita bisa berada di daycare meski kamu bekerja dari rumah.
Menutup Peran Ganda Secara Sehat
Kerja dari rumah memberikan kesempatan emas bagi ibu untuk menemukan kembali work–life balance. Fleksibilitas bukan jaminan otomatis, jika hanya menjadi jebakan tanpa batas, peran ganda ibu bisa berubah menjadi beban tak terlihat yang memicu burnout.
Baca Juga: Ibu Bekerja Emban Peran Ganda, Melanie Masriel: Guilty Feelings Itu Wajar
Memisahkan wilayah kerja dan personal, membagi tugas secara adil, serta menjaga waktu untuk diri sendiri adalah kunci agar WFH benar-benar memberdayakan, bukan melemahkan.
Dengan strategi bijak, WFH bisa menjadi wahana bagi ibu untuk meraih keseimbangan sejati, hidup profesional yang produktif dan rumah yang hangat, sekaligus mental yang sehat dan penuh energi.
(*)