Parapuan.co - Fenomena ghosting di mana seseorang tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan setelah intens berkomunikasi atau berkencan, telah menjadi momok dalam dunia kencan modern. Tak sedikit perempuan yang merasa dipermainkan, kehilangan arah, bahkan mempertanyakan harga dirinya sendiri setelah mengalami hal ini.
Tapi mengapa banyak perempuan yang menjadi korban ghosting? Apakah ini hanya soal “cowok yang nggak serius”? Jawabannya jauh lebih kompleks dan berkaitan erat dengan gaya keterikatan emosional (attachment style), dinamika sosial, dan pola komunikasi masa kini.
Terlepas siapapun yang menjadi korban ghosting, laki-laki maupun perempuan, inilah beberapa penyebabnya sebagaimana dirangkum dari The Every Girl!
1. Budaya Kencan Sekarang Memudahkan Orang Menghilang
Saat ini, hubungan banyak dimulai melalui aplikasi kencan, yang menawarkan ilusi kedekatan tanpa perlu benar-benar membangun komitmen. Dengan hanya menggeser layar, seseorang bisa langsung terhubung dengan banyak orang, dan ketika mulai merasa tidak nyaman atau terancam secara emosional, mereka bisa menghilang tanpa merasa bersalah.
Bagi mereka yang memiliki attachment style avoidant atau gaya keterikatan penghindar, kondisi ini adalah “surga”. Mereka bisa menikmati kedekatan sementara, tanpa perlu menghadapi kerumitan emosional hubungan jangka panjang.
Mereka cenderung menghindari hubungan yang terlalu intim atau emosional karena merasa tidak nyaman dengan kedekatan. Mereka berkencan, tidak pernah berkomitmen, dan lalu kembali lagi untuk mengulang siklus yang sama. Itulah sebabnya dunia kencan penuh dengan orang-orang seperti ini.
2. Banyak Perempuan Berharap Lebih, Tapi Pasangannya Tak Siap
Perempuan cenderung lebih terbuka secara emosional dan cepat membangun harapan saat merasa klik dengan seseorang. Ketika seseorang memperlihatkan perhatian dan intensitas di awal, sering disebut sebagai love bombing, perempuan bisa merespons dengan harapan akan hubungan yang serius.
Baca Juga: Perempuan Wajib Paham, Begini 3 Cara Move On setelah Di-Ghosting
Sayangnya, love bombing adalah salah satu ciri klasik dari seseorang dengan gaya keterikatan penghindar. Mereka menunjukkan perhatian dan kasih sayang di awal, lalu menghilang begitu hubungan mulai serius.
Tentu tidak semua laki-laki seperti ini, namun ketika dunia kencan modern dipenuhi oleh hubungan tanpa status, sinyal ambigu, dan ketidakjelasan, perempuan jadi lebih rentan merasa “digantung” dan ditinggalkan begitu saja.
3. Sosial Media dan Standar Ganda Menambah Tekanan
Media sosial memberi banyak orang pilihan tak terbatas, di mana selalu ada yang “lebih menarik”, “lebih seru”, atau “lebih sempurna”. Dalam dunia seperti ini, mencari pasangan yang mau benar-benar berkomitmen dan melihat seseorang secara utuh menjadi lebih sulit.
Tekanan ini tidak hanya dirasakan oleh perempuan, tapi dampaknya pada perempuan sering kali lebih berat karena mereka dibesarkan untuk percaya pada cinta romantis dan komitmen jangka panjang, sementara sistem sosial mendorong laki-laki untuk "mengejar" tanpa perlu bertanggung jawab setelahnya.
4. Ghosting Adalah Bentuk Penghindaran Emosi
Menurut Thais Gibson, pakar attachment style, gaya keterikatan penghindar terbentuk sejak usia 0–2 tahun, ketika anak dibesarkan oleh pengasuh yang emosionalnya jauh atau kerap mengabaikan perasaan anak. Akibatnya, mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa menunjukkan emosi itu tidak aman atau tidak efektif.
Ketika menghadapi situasi di mana pasangannya mulai menuntut kejelasan atau hubungan mulai masuk ke tahap yang lebih emosional, mereka justru panik dan memilih “kabur”. Bukan karena tidak tertarik, tapi karena tidak tahu bagaimana menghadapi kedekatan itu.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Baca Juga: Tips untuk Perempuan Memulai Percakapan di Aplikasi Kencan Online
Bagi perempuan yang berkali-kali menjadi korban ghosting, penting untuk menyadari bahwa ini bukan tentang “kamu kurang menarik” atau “kamu terlalu berharap”. Ini sering kali soal ketidakmampuan orang lain dalam mengelola kedekatan emosional.
Namun, bukan berarti perempuan tidak bisa melakukan apa-apa. Belajar mengenali tanda-tanda awal seseorang dengan gaya keterikatan penghindar, seperti terlalu intens di awal lalu cepat menjauh, enggan bicara soal masa depan, atau hanya hadir ketika nyaman bagi mereka, bisa membantu menghindari pola yang berulang.
Selain itu, membangun batasan yang sehat, berani menuntut kejelasan, dan memproses pengalaman ini dengan bantuan profesional seperti terapis bisa jadi langkah penting untuk menyembuhkan luka dan membangun kepercayaan diri kembali.
(*)