Fantasi Incest di Media Sosial, Bahaya Laten untuk Anak dan Generasi Muda

Arintha Widya - Jumat, 16 Mei 2025
Bahaya laten fantasi sedarah bagi anak dan generasi muda.
Bahaya laten fantasi sedarah bagi anak dan generasi muda. Kudryavtsev Pavel

Parapuan.co - Di tengah maraknya kampanye perlindungan anak dan kesadaran publik tentang kekerasan seksual, muncul fenomena baru yang memprihatinkan di media sosial. Yaitu yang baru-baru ini viral di media sosial, grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, di mana para anggotanya berbagi cerita, foto, informasi apapun tentang aktivitas seksualnya yang melenceng.

Di balik tampilan konten yang dianggap "hanya fantasi", tersembunyi realitas kelam yang membayangi generasi muda, bahwa incest bukan hanya fiksi, melainkan kekerasan nyata yang menorehkan luka psikis mendalam pada korban, khususnya anak-anak.

Incest Bukan Sekadar Fantasi, Tapi Kenyataan Tragis

Studi-studi mutakhir sebagaimana dirangkum PARAPUAN dari Psychiatric Times menunjukkan bahwa incest, khususnya antara ayah dan anak perempuan, bukanlah kejadian langka seperti yang dulu diasumsikan.

Di tahun 1975, data resmi mengklaim hanya 1 dari 1 juta keluarga di AS mengalami kasus ayah-anak perempuan. Namun, pada 1986, peneliti seperti Diana Russell melaporkan bahwa 1 dari 20 keluarga (dengan ayah kandung dan anak perempuan) dan 1 dari 7 keluarga (dengan ayah tiri) mengalami beberapa bentuk hubungan incest atau insesual.

Fakta ini diperkuat oleh kalangan feminis, psikiater, dan peneliti trauma yang menyuarakan bahwa mayoritas kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang terdekat atau anggota keluarga sendiri.

Sayangnya, seiring meningkatnya kesadaran, muncul pula gelombang penyangkalan—baik dari keluarga, masyarakat, bahkan profesional terapi—yang menganggap memori korban tidak valid atau hasil sugesti. Hal ini membuat pembahasan tentang incest cenderung dihindari, bahkan dalam dunia akademik sekalipun.

Media Sosial dan Fantasi Incest Jadi Ladang Bahaya Baru

Yang makin memperparah situasi adalah bagaimana media sosial dan budaya internet turut menyuburkan normalisasi fantasi incest. Banyak konten yang menyelubungi kekerasan dalam narasi "drama keluarga", "roleplay ayah-anak", hingga cerita dewasa yang secara implisit (atau terang-terangan) mengeksploitasi relasi kekeluargaan.

Baca Juga: 5 Hal Ini Bisa Memicu Konflik Antara Ayah dan Anak Perempuan Dewasa

Bahkan algoritma platform besar dapat menyarankan konten serupa jika pengguna pernah berinteraksi dengan video berbau incest. Generasi muda yang tumbuh dengan gawai dan akses tak terbatas ke internet menjadi sasaran paling rentan dari fenomena ini.

Fantasi yang mereka lihat bisa mengikis batas antara fiksi dan realita. Bagi sebagian, ini mungkin sekadar hiburan atau bahan candaan. Tapi bagi korban incest di dunia nyata, ini adalah pengkhianatan kolektif yang memperparah luka mereka.

Luka Psikologis yang Mengendap dan Terabaikan

Incest tidak hanya melibatkan kekerasan seksual, tetapi juga trauma relasional dan pengkhianatan emosional. Korban bukan hanya dilecehkan secara fisik, tapi juga dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung utama. Akibatnya, mereka kehilangan kepercayaan pada hubungan dekat, mengalami gangguan identitas, kecemasan, depresi, hingga kecenderungan bunuh diri.

Lebih dari itu, korban kerap mengalami traumatic bonding, yaitu keterikatan emosional yang aneh antara korban dan pelaku, karena selain menyakiti, pelaku juga kerap memberi perhatian dan kasih sayang palsu. Ini menciptakan kebingungan dan rasa bersalah yang dalam, terutama jika korban tidak percaya dirinya sebagai korban.

Dalam banyak kasus, keluarga korban lebih memilih membela pelaku daripada menyelamatkan anak mereka sendiri. Ketika korban bicara, mereka malah dianggap berbohong, dilecehkan ulang oleh institusi, atau dipaksa diam demi "nama baik keluarga".

Mengenali Jenis-Jenis Incest

Kekerasan incest tidak selalu berbentuk hubungan seksual eksplisit. Ada beberapa bentuk lain seperti:

1. Incest berbasis afeksi: ketika pelaku mencari kedekatan emosional lewat cara seksual karena keluarga miskin kasih sayang.

Baca Juga: Termasuk Pelecehan Seksual terhadap Anak, Apa Beda Child Grooming dan Pedofil?

2. Incest berbasis erotika: situasi keluarga yang permisif terhadap seksualitas hingga banyak anggota keluarga terlibat.

3. Incest berbasis agresi: pelaku melampiaskan kemarahan atau frustrasi lewat kekerasan seksual.

4. Emotional incest: orang tua menjadikan anak sebagai tempat pelampiasan emosional, menempatkan anak sebagai “pasangan pengganti” secara psikologis.

Semua bentuk ini meninggalkan kerusakan mental yang kompleks dan jangka panjang, terlebih jika korban tidak segera mendapatkan dukungan dan perlindungan.

Fantasi incest bukan sekadar khayalan tidak berbahaya. Ini bisa menjadi jalan masuk bagi kejahatan yang merusak hidup anak-anak. Media sosial dan budaya digital saat ini tengah membentuk persepsi yang mengaburkan batas antara imajinasi dan kekerasan.

Masyarakat harus lebih kritis terhadap konten yang dikonsumsi anak-anak, dan pemerintah harus menindak keras platform yang membiarkan fantasi-fantasi incest beredar bebas.

Di sisi lain, edukasi seksual berbasis perlindungan anak, literasi media, serta pendekatan trauma-informed harus menjadi prioritas.

Korban incest bukan hanya butuh simpati, mereka butuh ruang aman untuk pulih dan sistem yang benar-benar melindungi.

Jangan biarkan kekerasan ini terus membusuk dalam diam. Laporkan, dan cari perlindungan jika Kawan Puan mendapati incest di sekitar kalian!

Baca Juga: Mengenali Trauma Bonding dalam Putus-Nyambung Hubungan P Diddy dan Sang Mantan

(*)

Penulis:
Editor: Arintha Widya