Fantasi Incest di Media Sosial, Bahaya Laten untuk Anak dan Generasi Muda

Arintha Widya - Jumat, 16 Mei 2025
Bahaya laten fantasi sedarah bagi anak dan generasi muda.
Bahaya laten fantasi sedarah bagi anak dan generasi muda. Kudryavtsev Pavel

Baca Juga: Termasuk Pelecehan Seksual terhadap Anak, Apa Beda Child Grooming dan Pedofil?

2. Incest berbasis erotika: situasi keluarga yang permisif terhadap seksualitas hingga banyak anggota keluarga terlibat.

3. Incest berbasis agresi: pelaku melampiaskan kemarahan atau frustrasi lewat kekerasan seksual.

4. Emotional incest: orang tua menjadikan anak sebagai tempat pelampiasan emosional, menempatkan anak sebagai “pasangan pengganti” secara psikologis.

Semua bentuk ini meninggalkan kerusakan mental yang kompleks dan jangka panjang, terlebih jika korban tidak segera mendapatkan dukungan dan perlindungan.

Fantasi incest bukan sekadar khayalan tidak berbahaya. Ini bisa menjadi jalan masuk bagi kejahatan yang merusak hidup anak-anak. Media sosial dan budaya digital saat ini tengah membentuk persepsi yang mengaburkan batas antara imajinasi dan kekerasan.

Masyarakat harus lebih kritis terhadap konten yang dikonsumsi anak-anak, dan pemerintah harus menindak keras platform yang membiarkan fantasi-fantasi incest beredar bebas.

Di sisi lain, edukasi seksual berbasis perlindungan anak, literasi media, serta pendekatan trauma-informed harus menjadi prioritas.

Korban incest bukan hanya butuh simpati, mereka butuh ruang aman untuk pulih dan sistem yang benar-benar melindungi.

Jangan biarkan kekerasan ini terus membusuk dalam diam. Laporkan, dan cari perlindungan jika Kawan Puan mendapati incest di sekitar kalian!

Baca Juga: Mengenali Trauma Bonding dalam Putus-Nyambung Hubungan P Diddy dan Sang Mantan

(*)

Penulis:
Editor: Arintha Widya