Bahkan algoritma platform besar dapat menyarankan konten serupa jika pengguna pernah berinteraksi dengan video berbau incest. Generasi muda yang tumbuh dengan gawai dan akses tak terbatas ke internet menjadi sasaran paling rentan dari fenomena ini.
Fantasi yang mereka lihat bisa mengikis batas antara fiksi dan realita. Bagi sebagian, ini mungkin sekadar hiburan atau bahan candaan. Tapi bagi korban incest di dunia nyata, ini adalah pengkhianatan kolektif yang memperparah luka mereka.
Luka Psikologis yang Mengendap dan Terabaikan
Incest tidak hanya melibatkan kekerasan seksual, tetapi juga trauma relasional dan pengkhianatan emosional. Korban bukan hanya dilecehkan secara fisik, tapi juga dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung utama. Akibatnya, mereka kehilangan kepercayaan pada hubungan dekat, mengalami gangguan identitas, kecemasan, depresi, hingga kecenderungan bunuh diri.
Lebih dari itu, korban kerap mengalami traumatic bonding, yaitu keterikatan emosional yang aneh antara korban dan pelaku, karena selain menyakiti, pelaku juga kerap memberi perhatian dan kasih sayang palsu. Ini menciptakan kebingungan dan rasa bersalah yang dalam, terutama jika korban tidak percaya dirinya sebagai korban.
Dalam banyak kasus, keluarga korban lebih memilih membela pelaku daripada menyelamatkan anak mereka sendiri. Ketika korban bicara, mereka malah dianggap berbohong, dilecehkan ulang oleh institusi, atau dipaksa diam demi "nama baik keluarga".
Mengenali Jenis-Jenis Incest
Kekerasan incest tidak selalu berbentuk hubungan seksual eksplisit. Ada beberapa bentuk lain seperti:
1. Incest berbasis afeksi: ketika pelaku mencari kedekatan emosional lewat cara seksual karena keluarga miskin kasih sayang.