Parapuan.co - Setiap tanggal 1 Mei, kita para pekerja, pegawai/karyawan, memeringati Hari Buruh atau Mayday. Sebagian besar dari kita otomatis menyebutnya sebagai Hari Buruh, meski peringatan juga berlaku untuk semua tenaga kerja yang menerima upah.
Jika merujuk pada semangat peringatannya, tanggal ini sejatinya memang ditujukan untuk seluruh buruh dan pekerja—yakni semua orang yang bekerja dengan menerima imbalan, baik fisik maupun intelektual. Lantas, mengapa kata "buruh" yang lebih melekat dalam benak kita?
Untuk memahami istilah ini, rasanya kita perlu menengok sejarah Indonesia terkait tenaga kerja di masa awal kemerdekaan sebagaimana diungkap Dosen Fakultas Hukum Binus University, Shidarta dalam sebuah tulisan bertajuk "Semiotika Terminologi Tenaga Kerja, Buruh, Pekerja, Pegawai, dan Karyawan" (2015) melansir business-law.binus.ac.id.
Sejarah Indonesia memberikan petunjuk menarik. Pada masa awal kemerdekaan, istilah "buruh" digunakan secara luas dan terhormat. Salah satu bukti jelas adalah pengangkatan S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin pada 1947. Kata "buruh" pada masa itu tak membawa stigma, melainkan kehormatan yang melekat pada jabatan menteri.
Namun, pada masa Orde Baru, terjadi pergeseran. Presiden Soeharto lebih memilih istilah "tenaga kerja"—terjemahan dari manpower—yang cakupannya lebih luas dan terdengar lebih netral. Departemen Perburuhan pun berganti menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Seiring dengan itu, kata "buruh" mulai terpinggirkan dan perlahan dikonotasikan sebagai pekerja kasar atau kelas bawah, yang lebih mengandalkan otot ketimbang otak. Padahal, kata "buruh" maupun "pekerja" kini diartikan sama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menurut KBBI, "buruh" adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Sedangkan "pekerja" adalah (1) orang yang bekerja, (2) orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan.
Berdasarkan definisi di atas, buruh ya pekerja, pekerja ya buruh. Maka itu Hari Buruh adalah peringatan untuk semua buruh, pekerja, pegawai, karyawan, apapun sebutannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memang jelas dibedakan. “Tenaga kerja” adalah setiap orang yang mampu bekerja, baik yang sudah bekerja maupun belum.
Baca Juga: Hari Buruh Internasional, Puan Maharani Singgung Penguatan Perlindungan Pekerja Perempuan
Secara hukum, istilah "buruh" dan "pekerja" dipakai berdampingan, namun di masyarakat, makna sosialnya bisa dibilang sudah terbelah. Contohnya seperti disinggung oleh Shidarta, di mana pada era Orde Baru pula, banyak serikat buruh yang memilih bertransformasi menjadi serikat pekerja.
Alasannya sederhana: istilah "pekerja" dirasa lebih halus, lebih netral, dan lebih mudah diterima publik dibanding "buruh" yang mulai dianggap inferior. Meski demikian, beberapa organisasi tetap mempertahankan kata buruh, sebagai identitas perjuangan kelas yang tidak ingin dilunakkan oleh eufemisme kekuasaan.
Jika kita telisik lebih dalam, pemilahan kata buruh, pekerja, pegawai, dan karyawan bukan sekadar urusan diksi. Ada dimensi politik dan kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan.
Pemilihan kata-kata ini kerap dipakai untuk membagi-bagi kelompok pekerja agar tidak mudah bersatu dalam memperjuangkan haknya. Dalam filsafat bahasa, ini dikenal sebagai strategi untuk memecah konsolidasi sosial melalui bahasa.
Meski begitu, ada ironi yang menarik. Walaupun kata "buruh" secara sosial sudah dikerucutkan maknanya menjadi pekerja kelas bawah, justru istilah inilah yang melekat kuat dalam peringatan 1 Mei. Hal ini tak terlepas dari sejarah gerakan buruh internasional—khususnya perjuangan delapan jam kerja di Chicago pada 1886—yang memang dipelopori kaum buruh pabrik dan pekerja fisik.
Semangat perlawanan dan solidaritas yang kuat membuat istilah "Hari Buruh" tetap abadi dalam ingatan kolektif, meski konteks ketenagakerjaan kita hari ini jauh lebih beragam.
Maka, memperingati 1 Mei sebagai Hari Buruh sejatinya tidak harus membatasi siapa yang berhak merasa terwakili. Entah kita menyebut diri buruh, pekerja, pegawai, atau karyawan—selama kita menukar tenaga dan keterampilan untuk imbalan, kita semua bagian dari mereka yang dirayakan pada hari ini.
Alih-alih terjebak dalam sekat istilah, barangkali inilah momen tepat untuk kembali membangun solidaritas lintas profesi. Selamat Hari Buruh, Kawan Puan!
Baca Juga: Hari Buruh, Ini Tips Temukan Side Hustle yang Pas Buat Perempuan Pekerja
(*)