Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Konten Ceria Media Sosial: Tanda Bahaya yang Digaungkan Perempuan?

Dr. Firman Kurniawan S. Minggu, 17 September 2023
Konten curhat soal KDRT oleh pasangan berbalut keceriaan di media sosial, tanda perempuan minta pertolongan?
Konten curhat soal KDRT oleh pasangan berbalut keceriaan di media sosial, tanda perempuan minta pertolongan? tommy

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

 

Parapuan.co - Keceriaan yang tersirat lewat unggahan media sosial, bisa sama sekali tak identik dengan keadaan pengunggahnya.

Keceriaan bisa untuk menyamarkan situasi yang sebenarnya dialami. Atau justru berusaha menarik perhatian pengguna media sosial lain.

Setidaknya, itulah 2 kemungkinan yang bisa dibaca dari terbunuhnya Mega Suryani, oleh tangan sadis suaminya.

Dari ringkasan kejadian berdasar pemberitaan TribunJatim, 11 September 2023, juga beberapa media online lainnya, terungkap: Seorang laki-laki berinisial N menggorok sadis istrinya hingga tewas.

Peristiwa menghebohkan ini, terjadi pada Kamis, 7 September 2023.

Pembunuhan yang dilatarbelakangi perselisihan rumah tangga itu, terjadi di kediaman keduanya, di Jalan Cikedokan, Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Adalah aparat Polsek Cikarang Barat pada Sabtu, 9 September 2023 jam 01.30 WIB, yang memperoleh laporan terjadinya peristiwa, setelah pelaku menyerahkan diri dengan diantar kedua orang tuanya,

Perselisihan rumah tangga pasangan beranak 2 (yang tadinya bakal menjadi 3) ini, bukan peristiwa final pertama kalinya. Mega Suryani kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pada KDRT yang ke sekian kalinya itu, dirinya menemui ajal. Realitas KDRT yang menimpa, terungkap saat unggahan konten media sosial Mega Suryani dirunut ulang.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus KDRT dan Pembunuhan di Cikarang, Ini 20 Tanda Pernikahan Toxic

Setiap kali mengalami kekerasan, konten soal itu diunggahnya. Kalimat-kalimatnya bernada ceria, namun ternyata menyimpan kelamnya derita.

TribunNewsBogor, 11 September 2023, menyajikan unggahan yang menyiratkan kekerasan yang dialami Mega Suryani itu.

Kontennya disalin dari Youtube Channel Buletin InewsTV, yang menceritakan: “Sebuah karya dari jurus maut tendangan si Madun wkwk. Kalau ini jurus tendangan maut ronaldowati wkwk”.

Seraya ditunjukkannya anggota tubuhnya yang bilur menghitam, akibat siksa sang suami.

Unggahan lainnya bernada sama, “Bonus gambar, waktu hamil muda wkwk, dikungfu pakai jurus apa tau lupa wkwk”.

Kata-kata itu dilengkapi gambar diri Mega Suryani berbibir bengkak. Mungkin akibat pukulan yang diredamnya dari laki-laki N.

Dan pada kesempatan yang lain lagi, “Run (lari) jam 3 pagi dari mama mertua dan suami yang habis hajar aku habis-habisan. Wkwk aku udah kek tahanan ga boleh kabur dari kontrakan wkwkw. Makasih abang gojek udah mau nolong aku biarpun gak sempat pakai sendal," tulis Mega.

Unggahan ini pun dilengkapi gambar dirinya tanpa alas kaki, dan potongan gambar motor ojek online, yang membantu pelariannya.

Unggahan-unggahan “ceria” Mega Suryani, sesungguhnya bungkusan penyimpan derita. Depresi akibat kekerasan, tak hendak dibukanya pada sembarang orang.

Baca Juga: Pilu Korban Pembunuhan Suami di Cikarang, Sempat Laporkan KDRT ke Polisi

Ini sesuai ungkapan Leon F Seltzer, 2011 dalam artikelnya berjudul, “Why We Hide Emotional Pain: Strong people won't let themselves cry, right?”.

Disebutkan Seltzer sebagai salah satu temuan penting kajiannya: Perempuan khawatir untuk mengungkapkan tekanan emosional yang dihadapinya.

Karena dengan mengungkapkan tekanan yang dialaminya, perempuan bisa dianggap terlalu sensitif.

Selain mengemban doktor di bidang bahasa Inggris, Seltzer juga ahli psikologi. Dengan spesialisasi klinis dalam kemarahan, resolusi trauma, konflik pasangan, perilaku kompulsif/adiktif, pengendalian stres, dan depresi.

Lebih lanjut Seltzer menjelaskan bahwa seseorang yang tengah dalam modus penyangkalan, sesungguhnya sedang memberi reaksi terhadap rasa sakit emosional yang menderanya.

Seluruh penyangkalan tersebut dilakukannya dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari rasa sakit yang lebih dalam. Diciptakanlah tembok yang memisahkan dirinya dengan sumber derita baru.

Namun itu tak menghindarkannya dari peninggalan jejak. Jejaknya bisa dalam bentuk hilangnya nafsu makan yang tiba-tiba. Atau justru mulai makan dengan lahap.

Seluruhnya untuk "mengisi" perasaan, atau menghilangkan rasa sakit yang amat menderanya.

Dalam jangka panjang, seluruh proses ini dilakukan sebagai pertahanan diri, dari bahaya lebih dalam.

Baca Juga: Arawinda Kirana Rilis Film Pendek Diam, Kisah Nyata Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Perilaku makan dengan lahap ini, terdengar seperti kamuflase simbolik.

Orang yang sedang bergembira, kerap nafsu makannya tinggi. Kamuflase dilakukan, untuk menutupi keadaan yang sebenarnya.

Ini sama halnya dengan konten ceria pada unggahan media sosial Mega Suryani. Seolah menunjukkan rasa bahagia, namun justru deraan kekerasan yang sedang ditutupi.

Dalam jangka panjang, keadaan tak tersembuhkan. Bahkan kian parah.

Terhadap gejala menyembunyikan perasaan di media sosial yang memperparah keadaan, Leah Fessler, 2018, mengungkapkannya dalam sebuah artikel, “The Ultimate Proof that Looking Happy on Social Media often Masks Real Pain”.

Dia menjelaskan bahwa memalsukan kebahagiaan di media sosial itu merugikan. Namun di sisi lain, juga bisa menjadi cara yang tepat untuk melawan penyakit mental.

Penjelasan Fessler ini, dikutip dari Holly Ellmore, seorang mahasiswa pascasarjana di Harvard University, yang mengungkapkan pengalamannya saat menyamarkan depresi.

Saat depresi menyerang, lanjut Ellmore, harga diri seseorang dapat hancur.

Penampilan dirinya menjadi buruk dan sama sekali tak layak ditampilkan. Kecuali penderitanya sanggup menerima penilaian buruk orang lain.

Baca Juga: Belajar dari Venna Melinda, Ini 12 Ciri Laki-Laki yang Berpotensi Lakukan KDRT

Diperlukan perangkat untuk memoles penampilan. Untungnya media sosial seperti Facebook, menawarkan ruang yang mampu menolong. Membuat orang seakan berkeadaan baik.

Dan itu menyebabkannya diterima oleh kalangan luas. Penampilan diri yang diatur baik jadi pilihan, dibanding harus menarik diri dari pergaulan.

Namun dengan memoles penampilan di media sosial, risiko depresi yang diderita makin buruk.

Adanya komentar positif dan like yang diterima dari konten yang diunggah, sesungguhnya bukan ditujukan pada perasaan yang sebenarnya.

Disonansi antara perasaan yang sesungguhnya, dengan cara menampilkan diri di media sosial, malah menghasilkan keadaan yang membingungkan. Seluruhnya memperburuk depresi.

Fessler menjelaskan lebih lanjut: Seluruh keadaan di atas dapat dipahami.

Ketika seseorang berada dalam keadaan buruk, dia merasa penting untuk melihat diri sendiri dengan cara yang lebih baik.

Cara lebih baik ini dapat menghasilkan energi untuk melanjutkan hidup. Bahkan jika pandangan yang lebih baik itu, datang dari filter Snapchat.

Kembali pada kasus pembunuhan Mega Suryani. Unggahannya yang nampak ceria, bisa jadi merupakan upaya pengumpulan kekuatan melawan derita.

Baca Juga: 4 Gejala Smiling Depression, Merahasiakan Depresi dan Tampil Bahagia

Mega Suryani mendemonstrasikan, kekerasan yang menderanya ringan-ringan saja. Seringan konten yang diunggahnya.

Sebab penting bagi dirinya untuk terus merasa dalam keadaan baik-baik saja.

Di luar itu semua, Mega Suryani tak hendak membiarkan orang lain yang tak paham urusannya, turut menilainya. Karena jika itu terjadi, bakal memperburuk keadaannya.

Uraian sinyalemen-sinyalemen depresi yang disembunyikan dalam bentuk keceriaan (ini disebut sebagai “depresi tersenyum”) diperkuat oleh Amy Morin, 2023.

Uraian Morin termuat dalam Smiling Depression: When Things Aren't Quite What They Seem. Why Some People with Depression Look Happy on the Outside”.

Menurutnya, salah satu tujuan seseorang menyembunyikan depresinya dari hadapan orang lain adalah untuk memanen energi yang berguna untuk mengatasi rasa sakit. Tanpa memberi kesempatan orang lain turut campur menilai.

Tujuan penyembunyian lain adalah karena takut membebani orang lain, malu, penyangkalan, takut ada serangan balik, khawatir akan terlihat lemah, merasa bersalah.

Termasuk juga adanya tuntutan media sosial terhadap tampilan kebahagiaan yang tidak masuk akal dan tuntutan kesempurnaan diri yang melekat pada seseorang.

Seluruhnya memaksa tampilan keadaan diri yang tak sebenarnya. Pura-pura ceria di media sosial.

Baca Juga: Apakah Speak Up Lewat Media Sosial Jadi Langkah Tepat Keluar dari Dating Violence?

Maka dari uraian para ahli kesehatan mental, maupun beberapa pihak yang pernah mengalami keadaan serupa di atas, unggahan ceria di media sosial bisa dipahami sebagai alarm tanda bahaya yang sedang dinyalakan.

Ada seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan. Tujuan pengunggahannya: Untuk mengundang perhatian.

Karenanya para pengguna media sosial yang menyaksikan, sudah seharusnya memberi pertolongan.

Atau setidaknya melaporkan pada yang lebih ahli menangani keadaan. Bisa ahli kesehatan mental, juga polisi.

Hanya terlarut dalam kamuflase keceriaan konten, mengimajinasikan keadaan seolah baik-baik saja, bisa berakhir dengan penyesalan.

Pengunggah konten yang sesungguhnya terus mengalami peningkatan dosis kekerasan, juga kondisi depresi yang memburuk, bisa meninggal karena bunuh diri.

Atau, berakhir di tangan yang tidak bisa mengerem kekerasannya.

Kematian jadi titik berhentinya. Terlambat, telah melayang satu nyawa, sosok yang dicintai keluarganya. Maka, turut berduka Mega Suryani. Juga keluarga yang terus mencintainya. (*)