Quiet Quitting, Fenomena Bekerja Secukupnya Sebagai Bentuk Perlawanan Hustle Culture

Aulia Firafiroh - Jumat, 2 September 2022
Mengenal Apa Itu Quiet Quitting
Mengenal Apa Itu Quiet Quitting solidcolours

Parapuan.co- Akhir-akhir ini istilah quiet quitting ramai dibahas di media sosial untuk menggambarkan fenomena pekerja profesional muda.

Melansir Kompas.com, secara istilah quiet quitting artinya melakukan pekerjaan seperlunya sesuai dengan jobdesk dan permintaan atasan.

Fenomena ini menggambarkan perilaku profesional muda yang tetap ke kantor tepat waktu dan menyelesaikan semua pekerjaan, namun dengan batas minimal.

Orang yang menerapkan quiet quitting biasanya menolak lembur atau melakukan pekerjaan di luar jam bekerja.

Loyalitas atau kesetiaan terhadap suatu pekerjaan sudah tidak berlaku lagi.

Fenomena quiet quitting juga merupakan sikap perlawanan terhadap hustle culture, di mana bekerja berlebihan akan menjadi kesuksesan.

Awal Mula Fenomena Quiet Quitting Muncul

Munculnya fenomena quiet quitting disebabkan karena adanya perubahan perilaku dan pola pikir para pekerja muda selama pandemi Covid 19.

Hal itu juga dipengaruhi adanya perubahan sistem kerja yang selama pandemi menerapkan sistem work from home (WFH) dan hybrid.

Baca juga: Kenali Hustle Culture, Penyebab Pekerja Alami Burnout hingga Depresi

Selama bekerja pada masa pandemi, banyak pekerja muda merasa kurang mendapat apresiasi, pengakuan, dan kompensasi atas kerja kerasnya.

Akhirnya muncul sebuah sikap untuk menolak bekerja terlalu keras hingga melupakan kehidupan pribadi.

Perilaku quiet quitting bertujuan untuk menciptakan work life balance, bekerja sesuai porsinya, dan kesejahteraan fisik serta mental. 

Quiet Quitting Adalah Tuntutan Bukan Permintaan

Menurut Jaya Dass selaku direktur pelaksana perusahaan HRD Ranstad, melihat fenomena ini sebagai cara para pekerja untuk mengatur kehidupan pribadi dan pekerjaan agar seimbang.

“Apa yang dulunya merupakan tantangan pasif agresif dari work life balance sekarang menjadi permintaan yang sangat langsung,” kata Jay Dass dikutip dari Kompas.com pada Jumat (2/9/2022).

Ia juga mengatakan jika fenomena quiet quitting adalah sebuah tuntutan yang datang dari rasa putus asa karena kondisi tidak stabil sepert meningkatnya inflasi, biaya hidup tinggi dan pendapatan yang tidak sesuai.

“Itu bukan permintaan lagi. Ini adalah tuntutan," tambahnya.

Sikap ini juga merupakan pilihan yang masuk akal daripada memilih berhenti bekerja dan tidak memiliki penghasilan.

Baca juga: Kerap Dinormalisasi, ini Dampak Buruk Toxic Productivity dalam Bekerja

“Jika tidak ada yang meminta Anda untuk berhenti, mengapa tidak melakukan lebih sedikit secara default dan lolos begitu saja?," papar Jaya Dass.

Dampak Buruk Sikap Quiet Quitting

Pattie Ehsaei, selaku pakar perilaku di tempat kerja asal Los Angeles ini, melihat sikap quiet quitting tidak baik bagi pencapaian karier.

"Quiet quitting adalah melakukan hal minimum yang diperlukan dari Anda di tempat kerja dan puas dengan keadaan biasa-biasa saja," kata Pattie Ehsaei.

Pasalnya, sikap tersebut akan membuat pekerjanya tidak bisa mendapatkan kemajuan karier dan gaji yang tinggi.

"Kemajuan dan kenaikan gaji akan diberikan kepada mereka yang tingkat usahanya menjamin kemajuan, dan melakukan yang paling minimum tentu saja tidak," tambahnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Kelsey Wat yang merupakan seorang career coach.

Ia melihat perilaku ini bisa menghilangkan semangat terhadap pekerjaan yang dilakukan.

“Sebagian besar dari kita ingin bangga dengan pekerjaan yang kita lakukan dan kontribusi yang kita buat," ujar Kelsey Wat.

"Kita ingin melihat dampak kita dan merasa senang dengan hal itu. Quiet quitting tidak memungkinkan untuk itu,” tambahnya.

Kelsey Wat mengatakan jika kita bisa menetapkan batasan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi tanpa harus melakukan sikap quiet quitting.

Selain itu, konsultan HRD bernama Michael Timme, berpendapat jika quiet quitting bisa memicu konflik antar karyawan.

“Dari sudut pandang kantor, quiet quitting dapat menyebabkan konflik antar karyawan, karena beberapa karyawan akan merasa orang lain tidak memikul beban mereka,” ujar Michael Timme.

"Secara keseluruhan, ini dapat menjadi bumerang bagi karyawan dan juga dapat menciptakan gelombang karyawan yang tidak memadai dan terbelakang,” tambahnya.

Untuk itu, Michael Timme menyarankan agar pekerja muda memaksimalkan jam kerja di kantor agar work life balance. (*)

 

Sumber: kompas
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh