Sempat Viral Kasus Hubungan Seks pada Hewan, Psikolog Ungkap Bestialitas yang Dialami Pelaku

Anna Maria Anggita - Rabu, 8 Juni 2022
Kasus sodomi terhadap hewan
Kasus sodomi terhadap hewan Toshe_O

Parapuan.co - Pada pertengahan Mei lalu, tepatnya 16 Mei 2022, terdapat informasi viral di media sosial Twitter, yang mana ada seorang laki-laki melakukan sodomi terhadap kucing liar.

Dikabarkan oleh akun @raviopatra, kucing-kucing liar yang menjadi korban sodomi ada yang tak terselamatkan.

Sebenarnya kasus sodomi pada binatang bukan terjadi kali ini dan pada kucing saja.

Sebab, sebelumnya sempat terdapat kasus sodomi terhadap kambing, domba, bahkan ayam yang sempat menggegerkan publik.

Berkaca dari kasus sodomi terhadap hewan tersebut, psikolog klinis keluarga yang juga menangangani remaja dan dewasa, Vina Witri Astuti, M.Psi., Psikolog mengaku bahwa pelaku sodomi itu mengalami sexualitas abnormal.

Ia menyatakan kalau sexualitas abnormal itu dapat terjadi karena adanya gangguan pada aspek daya kemampuan seksual atau gangguan pada aspek arah-tujuan seksual itu.

"Jadi sexualitas abnormal itu dapat terjadi karena adanya gangguan pada aspek daya kemampuan seksual atau gangguan pada aspek arah-tujuan seksual itu. Kasus sodomi kucing yang terjadi dan sempat viral beberapa waktu lalu, terjadi karena adanya sexualitas abnormal yang disebabkan oleh gangguan pada aspek-arah tujuan seksual itu sendiri," ujar Vina, saat dihubungi PARAPUAN pada Kamis (2/6/2022). 

" Dalam teori psikologi abnormal, ada yang disebut dengan parafilia. Jadi parafilia ini merupakan gangguan preferensi seksual," tambahnya.

 Vina yang berpraktik di RSUD dr. Murjani, Sampit, Kalimantan Tengah, mengungkap kalau mengungkap kalau istilah paraphilia berasal dari Bahasa Yunani, 'para' berarti ‘pada sisi yang lain’, sementara 'philos' artinya adalah mencintai.

Baca Juga: Hindari Stres, Ini Manfaat Menulis Buku Harian untuk Kesehatan Mental

 

Oleh sebab itu, dapat diartikan kalau parafilia itu merupakan suatu kondisi di mana seseorang melampiaskan cinta atau hasrat seksualnya pada benda atau sesuatu yang tidak umum, bukan sesuatu yang normal.

Vina menjabarkan, parafilia ini terdiri dari berbagai bentuk arah-tujuan penyimpangan, misalnya yang cukup sering terjadi di masyarakat seperti pedofila, exhibitionism, voyeurism, dan lain-lainnya.

Misalnya seorang manusia melakukan hubungan seksual atau menyodomi binatang itu dikenal dengan istilah bestialitas.

Bestialitas ini termasuk dalam kategori atau kelompok gangguan preferesi seksual (paraphilia) karena pemuasan hasrat seksualnya kepada arah-tujuan objek yang seharusnya, yaitu ke binatang.

Menurut Vina yang juga berpraktik mandiri di House of Mental Health Enthusiast (H.O.M.E) memaparkan pelampiasan hasrat ke binatang, dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ), kondisi bestialitas ini masuk ke gangguan preferensi seksual lainnya (F.65.8) karena melampiaskannya pada binatang.

Lantas, mengapa manusia dapat melakukan seks dengan hewan? Apa penyebabnya?

Vina memaparkan terjadinya bestialitas atau bestiality ini bisa terjadi karena banyak penyabab, baik primer maupun sekunder.

"Gangguan preferensi seksual mungkin primer, penyebab yang belum bisa kita ketahui, atau mungkin sekunder yakni gangguan ini terjadi sebagai gejala dari gangguan kejiwaan lain yang sudah diketahui, si pelaku menderita gangguan kejiwaan," jelasnya.

Baca Juga: 5 Rutinitas Pagi untuk Meningkatkan Kesehatan Mental, Hindari Main Gadget

Berikut ini beberapa kondisi gangguan jiwa yang jadi pemicu bestialitas, di antaranya:

- Skizofrenia

- Gangguan neurotik obsesi kompulsif 

- Gangguan kejiwaan lain yang melatar belakangi gangguan parafilia ini

Sementara kalau penyebab primer itu ada beberapa teori di dalam psikologi, di mana parafilia disebabkan oleh hal-hal tertentu.

Ada beberapa pandangan kalau dalam pandangan psikodinamika, orang-orang dengan gangguan preferensi seksual ini disebabkan oleh perasaan tidak aman dan karena ingin melindungi egonya.

"Jadi egonya ini merasa adanya situasi yang tidak aman, kemudian juga adanya memori-memori atau pengalaman-pengalaman traumatis, misalkan ada orang yang pernah mengalami sexual abuse," jelasnya.

Menurut Vina, orang yang dulunya pernah mengalami sexual abuse akan mengalami kecenderungan ke arah gangguan preferensi seksual.

Ketika mengalami pelecehan seksual di masa kecil itu menjadi sesuatu yang dirasa tidak aman, maka korban akan sulit membangun interaksi karena ada pengalaman traumatik tadi.

 Baca Juga: Bisa Terjadi pada Anak, Apa Itu Gejala Oppositional Defiant Disorder?

"Pada perkembangan psikoseksualnya dia (korban pelecehan) mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, itu dari psikodinamis," tutur Vina.

Selanjutnya, Vina juga menjelaskan dari perspektif behaviour di mana penderita gangguan parafilia ini disebabkan karena adanya perilaku yang dikondisikan, conditioning dan observational learning yang secara tidak sengaja pada aktivitas tertentu dihubungkan dengan rangsangan seksual.

Misalnya  voyeurisme yang merupakan bagian dari parafilia di mana terjadi masalah gangguan preferensi seksual yang gangguannya itu dengan cara mengintip atau mengamati aktivitas seksual atau orang telanjang sebagai cara utama untuk pemuasan hasrat seksualnya.

Kondisi tersebut bisa saja terjadi karena pada masa kecil orang tuanya melakukan hubungan seksual, kemudian si kecil melihat.

Atau mungkin anak laki-laki yang sering tanpa sengaja melihat aktivitas ibunya mengenakan handuk, melepas stocking sembari melakukan masturbasi, kemungkinan dapat mengembangkan gangguan fetihisme.

Vina juga mengungkap fakta bila pengidap parafilia ini kebanyakan adalah laki-laki.

"Dalam perspektif biologis, parafilia dapat terjadi karena adanya hormon androgen," terang Vina.

Ia menjelaskan terdapat spekulasi di mana hormon androgen sebagai hormon utama laki-laki ini berperan dari terjadinya parafilia ini, termasuk dalam hasrat seksualnya.

Di samping itu, orang yang mengalami gangguan preferensi seksual itu biasanya karena ada pengalaman di masa lalu.

Baca Juga: Mengenal Skizofrenia, Gangguan Mental yang Butuh Perawatan Seumur Hidup

Maka dari itu, sebaiknya disarankan orang-orang yang dulunya sempat mengalami peristiwa traumatik, alangkah baiknya jangan ragu untuk berkonsultasi ke profesional kesehatan mental.

Tentunya kondisi ini ditujukan agar kesehatan mental dapat terjaga dengan baik dan tidak menimbulkan dampak di kemudian hari.

(*)