Sumi Hastry Purwanti, Polwan Pertama di Indonesia yang Jadi Dokter Forensik

Aulia Firafiroh - Kamis, 17 Februari 2022
Sosok Dokter Sumi
Sosok Dokter Sumi kompas

Parapuan.co- Dunia forensik Indonesia mungkin sudah tidak asing dengan sosok Kombes Pol Dr. dr. Sumi Hastry Purwanti.

Ia kerap terlibat dalam proses autopsi dan identifikasi korban berbagai kasus kriminal atau kecelakaan.

Melansir dari laman Kompas.com, Sumi pernah terlibat turun tangan dalam peristiwa bencana gempa bumi Yogyakarta (2006), bom Hotel JW Marriott, Jakarta (2009), identifikasi jenazah teroris Noordin M Top (2009), gempa bumi Padang, Sumatera Barat (2009), dan kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ-100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat (2012).

Kali ini PARAPUAN ingin membahas lebih dalam mengenai sosok Sumi Hastry Purwanti lebih dalam.

Perjalanan Karier Dokter Sumi di Dunia Forensik

Sumi Hastry Purwanti mulai masuk dunia forensik saat terlibat dalam sebuah operasi di tempat kejadian pembunuhan pada 2000 lalu.

Saat itu, Sumi mendapat saran dari Kepala Satuan Reserse Kriminal Poltabes Semarang Ajun Komisaris Purwo Lelono untuk terjun ke dalam dunia forensik.

”Ketika mendapat saran itu, saya termotivasi karena keahlian forensik ketika itu belum dimiliki polwan lain. Saya adalah polwan pertama yang menjadi dokter forensik,” cerita Sumi.

Kemudian ia bergabung dalam berbagai operasi tim Identifikasi Korban Bencana atau Disaster Victim Identification (DVI) Polri.

Baca juga: Profil Mommy ASF, Penulis Layangan Putus yang Ternyata Dokter Hewan

Perempuan berusia 51 tahun ini merupakan polwan (polisi wanita) pertama yang jadi dokter forensik di Indonesia.

Ia bercerita, tugas pertama yang ia dapatkan adalah mengidentifikasi korban bom Bali I pada 2002.

Setelah itu, Sumi ingin lebih mendalami dunia forensik dengan melanjutkan studi kedokteran forensik di Universitas Diponegoro pada 2002-2005.

Saat menyelesaikan proses studinya, Sumi juga pernah mendapat tugas mengidentifikasi korban bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), dan bom Bali II (2005).

Tak hanya itu, Sumi juga terus menjalani pendidikan spesialisnya seperti mengikuti kursus DVI di Singapura pada 2006, kursus DNA di Malaysia (2007), dan kursus identifikasi luka ledakan di Perth, Australia (2011).

Perempuan kelahiran 23 Agustus 1970 ini juga pernah mengikuti sejumlah pertemuan ahli forensik dunia.

Sumi mengatakan jika profesi sebagai dokter forensik memerlukan ketelitian yang tinggi dan kesabaran dalam menentukan akurasi identitas jenazah.

”Saya lebih memilih tidak mengidentifikasi jenazah dibandingkan melakukan identifikasi yang salah,” ujar Sumi.

Sumi juga bercerita mengenai kendala yang kerap dihadapi dokter forensik Indonesia.

Baca juga: Sosok Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama yang Kenalkan Kontrasepsi di Indonesia

Kendala yang biasanya dihadapi Tim forensik DVI Indonesia terletak pada keinginan pihak keluarga atau pemerintah untuk segera mengetahui hasil identifikasi dalam waktu singkat.

"Ada dugaan, kami mempersulitlah. Padahal, semua membutuhkan proses agar hasil identifikasi kami dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.

Ketertarikan Sumi dalam dunia forensik semakin telihat jelas saat ia bekerja selama dua bulan penuh dalam tugas identifikasi korban pesawat AirAsia QZ 8501 pada 2015.

Kini Sumi menjabat sebagai kepala Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Prof. Awaloeddin Djamin Semarang.

Diketahui Sebelumnya pada 2019 Sumi pernah menjabat sebagai kepala Instalansi Forensik RS Bhayangkara Tk.I R. Said Sukanto.

Wah, Kawan Puan! Sungguh inspiratif ya sosok Sumi Hastry Purwanti! (*)

Sumber: kompas
Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh