Kalis Mardiasih Ungkap 3 Hal yang Harus Dipenuhi RUU TPKS agar Bisa Disahkan

Firdhayanti - Jumat, 10 Desember 2021
RUU TPKS sebagai payung hukum bagi penyintas kekerasan seksual bisa disahkan karena tiga hal.
RUU TPKS sebagai payung hukum bagi penyintas kekerasan seksual bisa disahkan karena tiga hal. Kolonko

Parapuan.co - Hari HAM Internasional diperingati setiap tanggal 10 Desember. 

Sebagaimana diketahui, Hari HAM Internasional bertujuan untuk mengingatkan pemenuhan hak-hak setiap insan, termasuk perempuan. 

Salah satu pemenuhan hak perempuan adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

RUU TPKS ini merupakan payung hukum perlindungan untuk korban yang mengalami berbagai kekerasan dan pelecehan seksual. 

Kalis Mardiasih, aktivis perempuan dan penulis mengatakan RUU TPKS memiliki tiga hal yang mendukung sebuah kebijakan itu bisa disahkan. 

Baca Juga: Hari HAM Sedunia Diperingati 10 Desember, Ini Sejarah dan Temanya

Adapun hal pertama adalah urgensi dan dampak terkait kebijakan tersebut. 

"Yang pertama itu apakah kebijakan publik itu penting atau punya dampak publik atau tidak," ujar Kalis dalam acara Media Gathering 30 Tahun Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: di Balik Ganjalan Tantangan pada Kamis (25/11/2021).

"RUU TPKS punya dampak publik dan kita sangat memerlukan itu," katanya.

Kemudian, hal kedua adalah terkait adanya dukungan publik atau tidak. Kalis mengungkap bahwa pengesahan RUU TPKS ini sangat didukung oleh banyak pihak.

"Jelas RUU TPKS itu didorong dan diajukan oleh 120 lebih lembaga pengada layanan," kata Kalis.

"Ratusan jaringan masyarakat sipil dan tidak terhitung lagi berapa solidaritas yang sudah mengajukan surat publik langsung kepada presiden agar segera disahkan," jelas dia. 

Hal ketiga adalah dukungan politik. Kalis beranggapan dukungan politik ini masih minim didapatkan.

"Saya rasa disinilah masalah kita. Kita selalu berhadapan bahwa semua kebijakan publik yang terkait dengan perlindungan itu tidak ada yang sebentar," kata Kalis. 

"RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah 17 tahun lebih dan belum sah. RUU TPKS ini sudah hampir 7 tahun dan belum sah," lanjutnya lagi.

Terkait lamanya pengesahan undang-undang yang berkaitan dengan moralitas, Kalis menganggap itu karena pembangunan selalu didefinisikan sebagai hal realistis yang bersifat maskulin. 

Padahal, hak-hak perempuan merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia. 

"Kita tidak bisa bicara pembangunan jika setiap hari anak-anak perempuan kita diperkosa, jika ibu-ibu yang ada di dalam rumah tidak bisa melanjutkan hidupnya karena menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga," kata Kalis. 

Bonus demografi tak dapat diraih jika banyak anak-anak perempuan sudah menjadi korban kekerasan. 

Baca Juga: Mengenal Kalis Mardiasih, Penulis yang Peduli Hak Perempuan dan Anak

Kalis turut berkata bahwa perspektif terhadap pembangunan harus diubah.  

"Perspektif terhadap pembangunannya itulah yang harus dibongkar dulu," katanya.

"Kamu mau membangun siapa kalau anak-anak perempuanmu sejak usia anak sudah selesai hari itu juga hidupnya. Mau ngomongin kemajuan apa?" kata Kalis. 

Dalam perjalanannya menuju disahkan, RUU TPKS menemui banyak tantangan sejak diusulkan pada tahun 2016.

RUU TPKS sempat ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020 pada Juli 2020 silam. 

Tak cuma itu saja, berdasarkan laporan KOMPAKS pada 30 Agustus 2021, RUU TPKS baru yang disusun oleh Badan Legislatif DPR RI juga memangkas 85 pasal yang berisi perlindungan bagi korban.

Baca Juga: Kalis Mardiasih Ungkap Soal Pendidikan Seks untuk Kesehatan Reproduksi

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania