Tak Boleh Diremehkan, Ini Kata Gina S. Noer Soal Pentingnya Suara Penonton Film Perempuan

Alessandra Langit - Jumat, 24 September 2021
Gina S. Noer berpendapat soal ekosistem film dan penonton perempuan di Indonesia
Gina S. Noer berpendapat soal ekosistem film dan penonton perempuan di Indonesia Instagram @ginasnoer

Parapuan.co - Kawan Puan, bagi kamu para pecinta film mungkin selama ini sering melihat industri film yang didominasi oleh laki-laki.

Tidak hanya para pekerja, namun juga penonton film yang sering dilaporkan jumlahnya lebih banyak laki-laki.

Kenyataannya, penonton film perempuan juga menyumbangkan pengaruh besar terhadap industri film di Indonesia mau pun dunia.

Namun, cerita dan perspektif perempuan sering diabaikan dan dianggap seperti angin lalu karena dominasi laki-laki di industri ini.

Seberapa sering pekerja film perempuan dapat menyuarakan perspektif perempuan seutuhnya tanpa ada campur tangan rumah produksi yang didominasi laki-laki?

Baca Juga: Mengenal Female Gaze, Cara Lensa Perempuan Memandang Dunia dalam Film

Pada hari Kamis (23/9/2021), Sundance Film Festival Asia menghadirkan panel diskusi bertajuk Women in Film Industry.

Panel diskusi tersebut mengundang para sineas perempuan ternama Indonesia dan internasional.

Ada penulis dan sutradara Gina S. Noer, produser dan sutrada Nia Dinata, dan produser Susanti Dewi.

Selain itu ada pembicara produser film Amanda Salazar dari New York dan Sue Turley dari Los Angeles, Amerika Serikat.

Diskusi tersebut dilaksanakan lewat siaran langsung di aplikasi media sosial TikTok dan ditonton lebih dari 300 orang.

Pada diskusi panel tersebut, Gina S. Noer menyampaikan beberapa hal penting terkait hubungan pekerja film dan penonton perempuan di Indonesia.

Gina S. Noer percaya bahwa kesempatan perempuan di industri film dimulai dari adanya gerakan women support women.

Sesama pekerja film dan penontonperempuan saling mendukung agar gaung cerita dan perspektif perempuan semakin terdengar.

"Industri film di Indonesia dimulai dari women support women, ketika filmmaker perempuan saling dukung, seperti yang teh Nia ceritakan," ungkap Gina.

"Tidak hanya sesama filmmaker tapi juga penonton perempuan," tambahnya.

Baca Juga: Male Gaze vs Female Gaze: Perbedaan Cara Pandang Perempuan dan Laki-Laki dalam Film

Namun Gina setiap saat melihat bagaimana penonton perempuan sering dieksploitasi oleh produser yang tidak punya sensitifitas gender.

Gina S. Noer mulai terjun menjadi penulis naskah saat industri film di Indonesia sedang berkembang.

Maka, banyak rumah produksi yang mengkapitalisasi cerita dan perspektif untuk menjual sebuah film yang laku di pasaran.

Sayangnya, hal tersebut jadi membentuk bagaimana industri film melihat kebutuhan penonton perempuan, namun semua direkam dari pespektif laki-laki.

Penonton perempuan dianggap hanya tertarik pada dramatisasi cerita yang tidak menyentuh realita sama-sekali.

Angan-angan romansa dan kisah berbalut Cinderella complex seakan menjadi syarat mutlak sebuah film untuk melekat di hati perempuan.

Dengan perspektif seperti itu, para pekerja film perempuan hanya diikut sertakan untuk mencari relevansi dengan penonton perempuan.

Namun, keputusan mengenai cerita, kesepakatan kreatif, dan produksi tetap dikuasai oleh laki-laki.

Pejabat rumah produksi laki-laki tetap menjadi yang utama dalam mengambil keputusan untuk penonton perempuan.

Maka tidak jarang kita melihat karakter perempuan dalam film yang dibanalkan, dieksploitasi tubuhnya, dan digambarkan tidak bisa melawan atau punya pilihan.

Baca Juga: Film Moxie: Arti Gerakan Women Support Women Sesungguhnya dalam Perjuangan Melawan Sistem Patriarki

Padahal, bagi Gina S. Noer, perempuan hidup di dunia pararel yang kompleks dengan masing-masing cerita dan perspektif.

"Perempuan itu hidup di dunia kompleks. Kita mungkin duduk di sini, tapi di sana ada kisah perempuan yang terpencil, marjinal, dan memiliki banyak hambatan," kata Gina.

Walau terpencil, perempuan tersebut punya suara yang ingin disampaikan dan didengar oleh orang banyak.

Seharusnya, banyak film yang bisa merekam dan mewujudkan gaung suara perempuan dari berbagai latar belakang.

"Salah satu film yang berhasil adalah Yuni karya Kamila Andini yang menang di Toronto International Film Festival," ungkap Gina.

Bagi Gina, kemenangan Yuni adalah tanda bahwa cerita dan suara perempuan yang kompleks memiliki tempat di hati penonton perempuan.

Penonton perempuan Indonesia ingin mengonsumsi angan-angan dan fantasi terus menerus.

Baca Juga: Film Yuni Karya Kamila Andini Menangkan Platform Prize di TIFF 2021

Kita tentu juga ingin melihat realita yang benar-benar relevan dan mendengar suara yang selama ini dibungkam oleh media lainnya.

Gina S. Noer berharap semakin berkembangnya industri film di Indonesia dan partisipasi perempuan, maka semakin banyak suara perempuan yang didengarkan dalam bentuk film. (*)

Sumber: Sundance Film Festival Asia
Penulis:
Editor: Dinia Adrianjara