Pakaian Atlet Perempuan Selalu Dipermasalahkan, Ini Polemik Kompetisi Olahraga yang Masih Bias Gender

Citra Narada Putri - Jumat, 30 Juli 2021
Tim senam perempuan Jerman di Olimpiade Tokyo 2020.
Tim senam perempuan Jerman di Olimpiade Tokyo 2020. Tom Weller

Parapuan.co – Sempat tertahan selama satu tahun karena pandemi Covid-19, Olimpiade Tokyo 2020 akhirnya terlaksana juga tahun ini.

Ada banyak hal menarik yang terjadi di kompetisi olahraga paling bergengsi di dunia ini, khususnya bagi atlet perempuan yang menjadi perhatian karena prestasi-prestasi segar yang mereka dapatkan.

Mulai dari Momiji Nishiya, atlet perempuan berusia 13 tahun asal Jepang yang mendapatkan emas untuk cabang olahraga (cabor) Skateboard dan Hidilyn Diaz, atlet angkat besi pertama yang raih medali emas Olimpiade untuk Filipina.

Sementara dari tanah air, Gresia Polii dan Apriyani Rahayu menciptakan rekor baru sebagai ganda putri Indonesia pertama yang berhasil melaju ke babak semifinal sejak pertama kali cabor bulutangkis dipertandingkan di kancah Olimpiade.

Terlepas dari sejumlah terobosan yang banyak dilakukan oleh atlet perempuan, nampaknya ajang ini juga tak bisa lepas dari kontroversi-kontroversi yang juga masih memojokkan kaum hawa.

Baca Juga: Raih Medali Emas di Olimpiade Tokyo 2020, Sunisa Lee Dedikasikan Kemenangannya untuk Sang Ayah

Olivia Breen, juara dunia Paralimpiade dua kali, mengatakan bahwa seorang pejabat Inggris menyebut celana sprint-nya ‘terlalu pendek dan tidak pantas’ ketika ia berkempetisi di Kejuaraan Inggris ujung cabang olahraga lompat jauh.

“Saya telah mengenakan celana gaya yang sama selama bertahun-tahun dan mereka dirancang untuk kompetisi,” ujar Olivia seperti melansir CBS News.

“Ini membuat saya bertanya-tanya apakah atlet laki-laki akan dikritik dengan cara yang sama,” tambahnya.

Di sisi lain, topi renang khusus untuk rambut tebal, keriting dan bervolume yang dikenakan oleh Alice Dearing, perenang kulit hitam pertama Inggris di Olimpiade, dilarang oleh federasi olahraga air internasional (FINA) karena dianggap tidak mengikuti ‘bentuk alami kepala’.

Sementara, topi renang untuk rambut afro umumnya sulit ditemukan dan anggapan ‘bentuk kepala yang normal’ telah menyinggung kaum minoritas, khususnya orang kulit hitam dengan rambut keriting.

Hal ini pun semakin menunjukkan tidak inklusifnya federasi dalam menentukan aturan.

Sumber: CBS News,Time,Global News,The Conversation
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri