Pakaian Atlet Perempuan Selalu Dipermasalahkan, Ini Polemik Kompetisi Olahraga yang Masih Bias Gender

Citra Narada Putri - Jumat, 30 Juli 2021
Tim senam perempuan Jerman di Olimpiade Tokyo 2020.
Tim senam perempuan Jerman di Olimpiade Tokyo 2020. Tom Weller

Rachael Jefferson-Buchanan, dosen studi gerakan manusia di Universitas Charles Sturt, menyoroti bahwa atlet perempuan menghadapi tantangan yang lebih berat karena tubuh mereka diawasi oleh federasi olahraga.

Kode berpakaian para atlet berada di bawah yuridiksi badan internasional yang mengatur untuk setiap olahraga.

Menurut International Olympic Comittee, Komite Olimpiade Nasional memiliki otoritas tunggal dan eksklusif untuk meresepkan dan menentukan pakaian dan seragam yang akan dikenakan, serta peralatan yang digunakan oleh anggota delegasi mereka pada pertandingan Olimpiade.

Sementara Lenskyj mengatakan bahwa aturan berpakaian ditentukan, sebagian besar, oleh uang dan kepentingan komersial.

Ironisnya, aturan itu kebanyakan dibuat oleh laki-laki yang berada di posisi kepemimpinan di federasi internasional.

Baca Juga: Greysia Polii/Apriyani Rahayu Ciptakan Sejarah Baru untuk Bulu Tangkis Indonesia di Ajang Olimpiade Tokyo 2020

Hal ini diawali sejak abad ke-19, ketika perempuan kelas menengah atas diizinkan terlibat dalam permainan seperti tenis rumput.

Melansir dari Time, mereka diharuskan mengenakan pakaian yang feminin, sederhana dan dirancang untuk menarik perhatian calon suami, alih-alih untuk meningkatkan fungsi atletis mereka.

Maka, pada era tersebut, korset dan gaun yang dikenakan oleh para atlet perempuan sangat membatasi kemampuan mereka untuk bergerak lebih bebas selama pertandingan.

Kemudian di pergantian abad ke-20, mulai terjadi reformasi pakaian perempuan untuk aktivitas fisik, yang mana korset mulai ditiadakan yang digantikan dengan gymslip serta tunik.

Kendati terdengar sebagai terobosan baru yang progresif, nyatanya federasi olahraga di era tersebut masih mengharuskan para atlet perempuan untuk menutupi bentuk tubuhnya, dengan dalih ‘menjaga kesopanan’ untuk peran ibu di masa depan dalam masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa olahragawan perempuan, baik dulu hingga kini, masih dihadapi opresi yang sama.

Alih-alih dilihat dari prestasi dan kemampuan berolahraganya, para atlet perempuan masih dinilai dari pakaiannya.

Sumber: CBS News,Time,Global News,The Conversation
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri