Jangan Disepelekan! Ini Dampak Fast Fashion dan Perilaku Konsumtif Pada Ancaman Limbah Pakaian

Citra Narada Putri - Rabu, 21 Juli 2021
Industri fashion dan perilaku konsumtif masyarakat turut berkontribusi pada menumpuknya limbah pakaian yang sulit didaur ulang.
Industri fashion dan perilaku konsumtif masyarakat turut berkontribusi pada menumpuknya limbah pakaian yang sulit didaur ulang. Getty Images | Ziga Plahutar

Parapuan.co – Tak banyak disadari oleh masyarakat bahwa kebiasaan kita mengonsumsi dan menggunakan pakaian turut berkontribusi pada kelestarian lingkungan.

Melihat selebgram favorit pakai baju yang keren atau ada tren pakaian terbaru, kita langsung tergiur untuk membeli.

Apakah pakaian tersebut benar-benar dibutuhkan atau tidak, kerap kali tak jadi persoalan untuk kita membeli baju baru demi mengikuti tren terbaru.

Tapi ternyata, kebiasaan kita ini berdampak buruk bagi lingkungan.

Hal ini seperti disampaikan oleh Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi, bahwa kebiasaan masyarakat yang konsumtif dalam hal pakaian turut berkontribusi pada menumpuknya limbah pakaian.

“Memang kita juga termasuk salah satu pemakai atau berkontribusi pada fast fashion. Pakaian-pakaian diproduksi secara masif dan banyak dijual secara murah. Sementara season tergus berganti,” jelas Aretha saat diwawancarai PARAPUAN.

Untuk diketahui, fast fashion adalah istilah di industri tekstil yang memproduksi berbagai model pakaian yang terus berganti secara cepat, serta menggunakan bahan baku yang berkualitas buruk, sehingga tidak tahan lama.

Baca Juga: Dukung Slow Fesyen, Ini Rekomendasi Tempat Rental Baju Pesta Untukmu

Bahkan, pada tahap produksi itu sendiri industri pakaian kebanyakan memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan.

“Dari awal memproduksi pakaian, industri tekstil adalah salah satu industri yang polluting untuk lingkungan. Banyak menyebabkan polusi air dan udara,” tambahnya lagi.

Hal ini sejalan dengan temuan Changing Markets Foundation yang dirilis pada Juni 2021 lalu bahwa industri pakaian bertanggung jawab atas lebih dari 20 persen polusi air di dunia.

Ironisnya lagi, laporan International Union for Conservation of Nature tahun 2017 menunjukkan bahwa tekstil akan menjadi sumber polusi mikroplastik laut terbesar di dunia.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Menurut pengamatan Aretha, Indonesia sendiri termasuk salah satu produsen dan konsumen pakaian terbesar.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menunjukkan bahwa produksi industri pakaian mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 15,29 persen.

“Ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memang bagus karena mereka bisa menyerap tenaga kerja, cuman di sisi lain juga mereka memproduksi pakaian secara massal dalam jumlah yang sangat masif,” ujar Aretha.

Tak hanya itu saja. Di beberapa daerah ia juga kerap menemui perusahaan tekstil yang menggunakan pewarna dengan pengelolaan limbah yang buruk.

“Ada industri tekstil yang pakai pewarna dan kemudian dibuang ke sungai begitu saja,” tambahnya lagi.