Jangan Disepelekan! Ini Dampak Fast Fashion dan Perilaku Konsumtif Pada Ancaman Limbah Pakaian

Citra Narada Putri - Rabu, 21 Juli 2021
Industri fashion dan perilaku konsumtif masyarakat turut berkontribusi pada menumpuknya limbah pakaian yang sulit didaur ulang.
Industri fashion dan perilaku konsumtif masyarakat turut berkontribusi pada menumpuknya limbah pakaian yang sulit didaur ulang. Getty Images | Ziga Plahutar

Nasib Pengolahan Limbah Pakaian

Tak hanya merusak lingkungan di level produksi, industri pakaian juga pada akhirnya membebani kita semua karena berujung jadi limbah yang sulit didaur ulang.

Bukannya tanpa sebab, pasalnya fasilitas insinerator (waste to energy) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang hanya bisa mengolah 50 ton sampah per hari.

Angka ini tak sebanding lurus dengan jumlah sampah yang masuk ke area TPA Bantar Gebang Jakarta sebanyak 7.000 hingga 7.500 ton per harinya. Persentase pengolahannya sangat kecil.

Menurut data Jakarta dalam Angka tahun 2017, persentase komposisi sampah DKI Jakarta untuk kategori kain adalah 1,11 persen.

“Sampah kain 1,11 persen, tapi kalau dari 7.500 ton per hari total keseluruhan sampah di Jakarta, berarti kita membuang 83,25 ton sampah kain per hari,” jelasnya lagi.

Menurut Aretha, sebenarnya peraturan terkait persampahan di Indonesia sudah cukup lengkap, hanya saja penegakkan peraturannya masih kurang.

“Kita butuh penegakkan peraturannya yang lebih tegas dari pemerintah terhadap polluters,” ujarnya menegaskan.

Termasuk soal implementasi dari program-program pemerintah terkait pengelolaan sampah. Menurut Aretha, orang awam tak banyak yang tahu seperti apa implementasi dari pengolahan sampah tersebut.

“Diolah seperti apa? Apakah pengolahannya sudah sesuai dengan materialnya atau tidak?” ujarnya yang menyayangkan tak adanya transparansi dan ketegasan perihal pengolahan limbah tersebut.

Baca Juga: Bijak Pilih Pakaian, Ini 4 Serat Sintetis yang Tidak Ramah Lingkungan

Ironisnya lagi, sekalipun kita telah memilah sampah berdasarkan kategorinya, pada saat sampai di TPA sudah dalam kondisi tercampur.

“Ini membuat masyarakat menjadi malas untuk memilah sampah. Jadi belum ada streamline antara peraturan hingga implementasinya di lapangan,” tambahnya.

Padahal, pemilahan sampah menjadi salah satu kunci penting dalam pengolahan limbah.

 “Karena belum terpilah, jadi seringkali tidak bersih. Biasanya kalau sudah tercampur dan kotor, akhirnya tidak diambil oleh pelapak atau pemulung. Itu pun menjadi worthless,” jelasnya lagi.

Sampah yang telah tercampur akan semakin sulit untuk diolah, hingga pada akhirnya akan berujung di laut.

“Makanya marine litter juga ternyata bukan hanya plastic waste, tapi juga textile waste,” papar Aretha lagi.

Salah satu buktinya adalah pernah ditemukan sebuah kasus lumba-lumba yang tercekik pakaian dalam perempuan di Meksiko. Sementara itu, ditemukan juga banyak sampah pakaian di dasar laut.