Parapuan.co - Dalam kehidupan sehari-hari, kamu mungkin pernah mengenal seseorang yang tampaknya terus-menerus membesar-besarkan cerita, membuat kisah-kisah tak masuk akal, bahkan secara konsisten menyampaikan kebohongan meski tak jelas keuntungan dari perilaku tersebut.
Mungkin, awalnya Kawan Puan menganggap hal itu hanyalah bentuk dari dramatisasi atau cara seseorang menarik perhatian. Namun, bisa jadi perilaku tersebut adalah gejala dari kondisi psikologis lebih dalam dan kompleks yang dikenal dengan nama mythomania atau kebohongan patologis.
Kondisi ini bukan sekadar kebiasaan berbohong biasa, melainkan gangguan psikologis yang ditandai dengan dorongan kompulsif untuk berbohong secara terus-menerus, bahkan ketika tidak ada kebutuhan atau alasan jelas untuk melakukannya.
Sebuah pertanyaan besar muncul, mengapa seseorang bisa memiliki karakter seperti ini? Apa yang sebenarnya mendorong seseorang untuk hidup dalam konstruksi kebohongan ciptaan diri sendiri?
Untuk memahami mythomania secara utuh, kamu perlu mengenal kondisi ini dari berbagai aspek, mulai definisi, penyebab, hingga dampak terhadap hubungan sosial maupun kehidupan pribadi penderitanya.
Merujuk dari laman Psychology Today, istilah mythomania pertama kali dicetuskan oleh G. Stanley Hall pada tahun 1890. Penelitian yang melibatkan 300 orang ini menemukan bahwa 7 diantaranya menunjukkan kebohongan patologis atau mythomania.
Seseorang yang melakukan kebohongan tersebut memiliki kecenderungan mencari perhatian. Ia mencatat bahwa meskipun kebohongan mungkin dimulai dengan tujuan pelayanan seperti perhatian, sensasi, atau keuntungan materi, pembohong patologis dapat, dalam arti tertentu, kehilangan jati dirinya dalam kebohongannya dan mulai berbohong tanpa memberikan insentif jelas.
Bisa diartikan bahwa mythomania adalah kondisi psikologis di mana seseorang merasa terdorong untuk berbohong secara berulang dan kompulsif, hingga mereka mulai percaya pada kebohongan yang diciptakan sendiri.
Orang dengan mythomania tidak hanya sekadar berbohong untuk menghindari hukuman atau mendapatkan keuntungan, melainkan berbohong sebagai bagian dari realitas yang mereka bangun sendiri.
Baca Juga: Mengenal Istilah Intimacy Issues dan Berbagai Jenisnya, Simak!
Kebohongan ini biasanya bersifat kompleks, detail, dan kadang sangat sulit dibedakan dari kenyataan karena dirancang sedemikian rupa agar terdengar masuk akal.
Berbeda dengan kebohongan biasa yang dilakukan secara sadar untuk tujuan tertentu, mythomania sering kali melibatkan penipuan yang tidak disadari secara penuh oleh pelakunya. Akibatnya, mereka sendiri bisa percaya bahwa cerita yang disampaikannya benar adanya.
Dalam banyak kasus, mythomania muncul sejak usia remaja dan bisa berkembang menjadi bagian dari kepribadian seseorang apabila tidak ditangani sejak dini.
Mengapa Seseorang Bisa Mengalami Mythomania?
1. Kebutuhan Mendalam untuk Mencari Pengakuan dan Perhatian
Salah satu alasan paling umum seseorang menjadi mythomania adalah adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, seperti rasa ingin diakui, dihargai, atau dicintai.
Ketika kebutuhan ini tidak dipenuhi dalam lingkungan keluarga atau sosial, terutama pada masa kanak-kanak, individu bisa mulai menciptakan cerita-cerita fiktif sebagai cara untuk mendapatkan perhatian yang mereka dambakan.
Misalnya, mereka mungkin mengarang kisah sukses, penderitaan, atau pengalaman dramatis agar orang lain bersimpati atau mengagumi mereka.
Baca Juga: Apa Itu Hipogami? Fenomena Relasi Baru yang Dipilih Perempuan Mapan
2. Rasa Tidak Aman pada Diri Sendiri
Sementara itu, Meity Arianty, seorang psikolog klinis, menjelaskan bahwa mythomania bisa disebabkan karena rendahnya rasa percaya diri seseorang.
Biasanya, pengidap mythomania juga merasa tidak aman dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
"Umumnya, orang yang mengidap mythomania adalah orang-orang yang memiliki rasa percaya diri yang rendah dan mereka cenderung merasa tidak aman," ujar Meity Arianty dikutip dari Kompas.com.
3. Gangguan Kesehatan Mental
Lebih lanjut, Meity Arianty juga menyebut bahwa mythomania berkaitan erat dengan beberapa jenis gangguan kesehatan mental, termasuk Narcissistic Personality Disorder (NPD) dan anti-sosial.
"Sering dikaitkan dengan beberapa jenis gangguan kesehatan mental, lainnya seperti gangguan kepribadian antisosial atau NPD," jelasnya. Namun, Meity menegaskan bahwa tidak semua orang yang merasa rendah diri dan tidak aman mengalami mythomania.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Career Detox untuk Memperoleh Work Life Balance
(*)