Parapuan.co - Dahulu, dongeng Cinderella menggambarkan mimpi perempuan untuk diselamatkan oleh pangeran kaya raya dan hidup bahagia selamanya. Namun kini, narasi itu mulai tergeser.
Di tengah meningkatnya jumlah perempuan yang menempuh pendidikan tinggi, mandiri secara finansial, dan meraih kesuksesan karier, muncul fenomena yang disebut hipogami. Hipogami adalah konsep ketika perempuan memilih pasangan dengan status sosial, ekonomi, atau pendidikan yang lebih rendah dari dirinya. Fenomena ini menantang norma tradisional yang selama berabad-abad menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan dalam struktur relasi.
Sebaliknya, hipergami ialah konsep perempuan "naik kelas" dengan menikahi laki-laki berstatus lebih tinggi, yang selama ini dianggap sebagai standar. Kini, perempuan mulai menata ulang makna sebuah hubungan dan memilih berdasarkan nilai yang lebih personal.
Melansir dari Kompas.com, dan menurut data Pew Research Center, pada tahun 2022, sekitar 24% perempuan di Amerika Serikat menikah dengan laki-laki yang berpendidikan lebih rendah dari mereka. Angka ini meningkat signifikan hingga 19% dari tahun 1972.
Di Indonesia, meskipun data belum banyak tersedia, tren serupa dapat diamati secara kasat mata, dari media sosial hingga cerita sehari-hari.
Mengutip dari Kompas.com, berikut beberapa faktor utama yang mendorong meningkatnya fenomena hipogami antara lain:
- Peningkatan pendidikan dan kemandirian finansial perempuan: Banyak perempuan kini memiliki tingkat pendidikan, dan kemandirian finansial yang lebih tinggi dibanding dekade sebelumnya. Hal ini membuat mereka tidak lagi bergantung pada pasangan dalam hal ekonomi, dan memberikan kebebasan untuk menentukan pilihan berdasarkan kualitas hubungan secara emosional, dan nilai-nilai bersama.
Perempuan yang mapan secara finansial lebih berani mengambil keputusan tanpa tekanan konvensi sosial, karena mereka merasa cukup mandiri untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang setara bahkan ketika pasangannya berpenghasilan lebih rendah.
- Perubahan norma sosial: Seiring berkembangnya nilai-nilai kesetaraan gender, norma tradisional yang menempatkan pria sebagai pencari nafkah utama mulai mengalami pergeseran. Kini semakin banyak masyarakat yang menerima perempuan sebagai kepala rumah tangga atau pencari nafkah utama.
Relasi tidak lagi dinilai dari siapa yang lebih berkuasa secara ekonomi, melainkan dari seberapa besar dukungan, respek, dan keseimbangan peran yang dibangun dalam rumah tangga.
Baca Juga: 7 Cara Komunikasi yang Bikin Hubungan dengan Pasangan Makin Hangat
- Paparan nilai egaliter dalam media dan budaya populer: Representasi hubungan yang egaliter semakin banyak muncul dalam film, serial, dan buku-buku populer. Narasi perempuan sukses yang menjalin hubungan dengan pria dari latar belakang biasa atau non-elit tak lagi dianggap tabu.
Tokoh-tokoh publik pun ikut serta memperkuat gambaran bahwa hubungan yang bahagia tidak harus didasarkan pada pencapaian materi semata, melainkan pada rasa saling melengkapi dan tumbuh bersama.
Meskipun hipogami mencerminkan kemajuan dalam kesetaraan gender, hubungan semacam ini tetap menghadapi sejumlah tantangan yang signifikan.
Pertama adalah persepsi sosial. Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, relasi di mana perempuan memiliki status sosial atau ekonomi yang lebih tinggi dari pasangannya masih dianggap menyimpang dari norma.
Perempuan bisa mengalami tekanan dari keluarga atau masyarakat yang menganggap bahwa keberhasilan perempuan seharusnya diimbangi dengan pasangan yang lebih "tinggi" atau setidaknya sepadan. Tekanan ini sering kali muncul dalam bentuk komentar merendahkan, rasa malu yang dipaksakan, atau pertanyaan bernada meragukan tentang pilihan pasangan.
Kedua, dinamika kekuasaan dalam relasi hipogami bisa menjadi kompleks. Perbedaan status bisa memunculkan ketegangan tersembunyi, seperti rasa rendah diri pada pasangan laki-laki atau beban emosional pada perempuan yang harus terus membuktikan bahwa hubungannya berfungsi.