Stonewalling juga bisa menjadi bagian dari gaslighting atau strategi manipulasi yang membuat korban meragukan dirinya. Saat seseorang diabaikan secara terus-menerus, ia bisa merasa lemah, tidak penting, bahkan mulai menyalahkan dirinya atas keretakan hubungan. Situasi ini berpotensi menyeret korban ke dalam hubungan yang toxic tanpa disadari.
Meski demikian, tidak semua stonewalling dilakukan dengan niat jahat. Banyak orang yang melakukannya sebagai mekanisme pertahanan diri. Ada yang tumbuh dengan kebiasaan menghindari konflik sejak kecil, ada pula yang merasa terlalu cemas atau takut dengan reaksi pasangan. Dalam konteks ini, stonewalling kerap menjadi “jalan pintas” untuk melarikan diri dari percakapan yang dianggap mengancam.
Kenapa Seseorang Melakukannya?
Alasan di balik perilaku ini pun beragam. Beberapa orang melakukannya karena tidak percaya masalah bisa diselesaikan, atau merasa percuma berbicara karena pasangan dianggap tidak mau mendengarkan. Ada juga yang menggunakan cara ini untuk menunjukkan bahwa dirinya “netral”, padahal pada akhirnya justru memperburuk konflik.
Sebuah penelitian oleh John Mordechai Gottman dan rekannya yang dipublikasikan di Journal of Marriage and Family, menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih sering melakukan stonewalling dibanding perempuan. Hal ini terkait dengan norma sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok “diam dan kuat”, sementara perempuan sering dibebankan peran sebagai komunikator dalam hubungan.
Pasangan Juga Butuh Waktu Sendiri
Penting juga untuk membedakan stonewalling dengan kebutuhan ruang pribadi. Pasangan yang meminta waktu sejenak untuk menenangkan diri bukan berarti sedang menutup diri. Bedanya, permintaan ruang biasanya disampaikan dengan komunikasi yang jelas, disertai janji untuk kembali melanjutkan diskusi. Sedangkan stonewalling menolak komunikasi sama sekali.
Untuk itu, jika Kawan Puan sedang menghadapi pasangan yang melakukan stonewalling. Disarankan kamu tidak menilai perilaku ini sebagai kambing hitam semata. Masalah inti sering kali lebih kompleks dan membutuhkan komitmen bersama untuk memperbaikinya. Salah satu cara yang dianjurkan adalah memperbaiki pola komunikasi baru yang lebih sehat.
Baca Juga: Perempuan Punya Pasangan dengan Karakter Manchild, Ini Karakternya
Dalam komunikasi itu, Kawan Puan bisa mengajarkan pasangan untuk mengakui kesalahan, memberikan ruang untuk feedback, serta menyampaikan kebutuhan dengan cara yang netral. Memperhatikan juga bahasa tubuh, belajar menunda percakapan tanpa menghindarinya, hingga mencari tempat aman untuk berdiskusi.
Namun, jika salah satu pihak menolak bekerja sama, jalan lain tetap terbuka. Seseorang yang menjadi korban stonewalling bisa mencari dukungan dari terapis untuk membangun kembali rasa percaya diri dan menemukan strategi bertahan.
Sering kali dijumpai langkah berpisah sementara yang dikenal break atau bahkan mengakhiri hubungan bisa menjadi pilihan terakhir demi kesehatan mental dan fisik. Namun, cara seperti ini tentu saja juga memiliki dampak positif dan negatif tersendiri.
Oleh karena itu, Kawan Puan perlu tahu, stonewalling bukanlah cara sehat untuk mengelola konflik. Meski terlihat seperti solusi instan, dampaknya justru memperdalam keretakan hubungan. Hubungan yang sehat membutuhkan komunikasi, empati, dan keberanian untuk menghadapi masalah bersama-sama.
(*)
Putri Renata