Kenapa Berita Negatif Lebih Cepat Menyebar dan Bikin Stres?

Tim Parapuan - Senin, 1 September 2025
Kenapa Berita Negatif Lebih Cepat Menyebar dan Bikin Stres?
Kenapa Berita Negatif Lebih Cepat Menyebar dan Bikin Stres?

Parapuan.co - Di era digital saat ini, aliran informasi terus mengalir tanpa henti. Hampir setiap detik, berita terbaru bermunculan di media arus utama maupun media sosial. Kondisi tersebut memang memberi kemudahan, tetapi juga membawa dampak signifikan pada kesehatan mental masyarakat.

Fenomena ini disebut juga sebagai headline stress disorder, yakni rasa stres berlebihan akibat paparan berulang terhadap berita bernuansa negatif. Istilah ini muncul seiring meningkatnya laporan masyarakat yang merasa cemas atau terbebani setiap kali mengonsumsi informasi.

Dilansir melalui laman Kompas.com, psikolog sosial, Dicky Pelupessy, Ph.D, menegaskan bahwa reaksi emosional berupa kesedihan, kecemasan, atau bahkan kemarahan saat membaca berita merupakan hal yang wajar. Menurutnya, peristiwa politik atau sosial yang besar memang mampu mengguncang perasaan, karena sifatnya tidak terjadi setiap hari.

"Ini adalah perasaan yang normal, karena peristiwa politik, apalagi yang luar biasa, tidak terjadi setiap hari, sehingga akan membangkitkan emosi negatif," katanya.

Ia menambahkan, kondisi emosional tersebut akan lebih terasa apabila seseorang sebelumnya sudah memiliki kekecewaan mendalam terhadap situasi tertentu. Kombinasi antara pengalaman pribadi dan paparan berita negatif memperkuat reaksi emosional yang muncul.

Di sisi lain, dunia media, khususnya media sosial, justru semakin sering menggunakan judul atau headline yang dramatis. Tujuannya jelas, menarik perhatian pembaca. Namun, strategi itu seringkali justru membuat pembaca terjebak pada respons emosional yang berlebihan.

Fenomena headline stress disorder kini bahkan menjadi isu global. Masyarakat di berbagai negara mulai menunjukkan gejala kelelahan informasi. Tidak sedikit yang kemudian memilih untuk menghindari berita sama sekali sebagai bentuk perlindungan diri.

Ada beberapa alasan yang mendorong perilaku menghindari berita tersebut. Pertama, karena pemberitaan dianggap terlalu negatif dan melelahkan. Kedua, rendahnya tingkat kepercayaan terhadap media. Ketiga, masyarakat merasa volume berita yang beredar terlalu banyak dan membanjiri ruang perhatian mereka.

Secara ilmiah, fenomena ini sejalan dengan kecenderungan alami otak manusia. Penelitian menunjukkan, otak lebih cepat memproses informasi yang dianggap ancaman dibandingkan kabar yang bernuansa positif. Dengan kata lain, kita secara alami lebih tertarik pada hal-hal yang berpotensi membangkitkan emosi.

Baca Juga: Bijak Pakai Media Sosial, Ini Tips untuk Perempuan Hadapi Komentar Negatif

“Ini berkaitan dengan konsep selective attention. Manusia memang lebih fokus pada informasi yang menimbulkan emosi kuat, terutama yang bernada ancaman,” jelas Dicky. Hal itu pula yang menjelaskan mengapa berita buruk lebih cepat menyebar dibandingkan kabar baik.

Namun, dampaknya jelas tidak bisa diabaikan. Paparan berlebihan terhadap berita negatif terbukti melemahkan kesehatan mental. Rasa marah, sedih, cemas, hingga putus asa dapat muncul setelah mengonsumsi terlalu banyak berita dengan nada ancaman.

Membatasi Waktu Membaca Berita

Dalam jangka panjang sekalipun, kebiasaan tersebut dapat memengaruhi kemampuan konsentrasi seseorang. Banjir informasi negatif sering membuat otak sulit fokus, mudah terdistraksi, dan kehilangan motivasi.

Untuk menghadapi situasi ini, para ahli menawarkan sejumlah strategi sederhana. Salah satunya adalah membatasi waktu mengonsumsi berita. Tidak perlu mengikuti setiap informasi secara terus-menerus, apalagi jika dirasa semakin menambah beban psikologis.

“Kalau sudah terlalu memicu, langkah ekstremnya memang berhenti mengikuti berita sama sekali. Namun, secara umum cukup dengan memilah sumber informasi yang kredibel, bukan sekadar sensasional,” saran Dicky.

Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah menelan mentah-mentah setiap kabar, terutama yang berasal dari media sosial. Penting untuk melakukan validasi, baik dengan mencari referensi tambahan maupun dengan berdiskusi bersama orang yang dipercaya.

Dengan begitu, kita bisa mengurangi potensi panik atau kecemasan berlebih akibat informasi yang belum tentu benar. Keterampilan memfilter berita menjadi salah satu kunci penting agar tidak terjebak dalam lingkaran stres.

Selain itu, menjaga keseimbangan juga diperlukan. Aktivitas yang menenangkan seperti olahraga ringan, membaca buku, atau sekadar berinteraksi dengan lingkungan sosial nyata bisa membantu mengurangi dampak negatif paparan berita.

Fenomena ini sekaligus menjadi pengingat bahwa di balik derasnya arus informasi, manusia tetap membutuhkan ruang jeda. Mengelola cara kita berinteraksi dengan berita bukan hanya soal menjaga kesehatan mental, tetapi juga bagian dari menjaga kualitas hidup di tengah dunia yang semakin terhubung.

Baca Juga: Ancaman Hoaks pada Generasi Muda dan Tantangan Menjaga Persatuan di Era Digital

(*)

Putri Renata

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri