Hasilnya pun menjadi sangat mirip dengan satu sama lain, artinya tidak orisinil dan mengandalkan ide yang sama. Kondisi ini menjadi sangat mudah untuk dikenali karena tidak berjiwa ketika dinilai oleh guru.
Tidak Kreatif, Kritis, dan Daya Ingat Rendah
Berbeda dengan kelompok yang memanfaatkan Google atau hanya menggunakan murni pengerjaan otak. Mereka cenderung lebih aktif dan rasa ingin tahunya besar.
Bahkan, menunjukkan konektivitas saraf yang tinggi untuk kreativitas, beban memori, hingga pemrosesan semantik. Meski menggunakan AI dikenal efisien dan praktis, tidak ada integrasi langsung dengan jaringan memori dalam otak.
Hal ini dibuktikan melalui eksperimen ketika subjek penelitian diminta menulis ulang salah satu esai yang telah mereka buat sebelumnya. Kelompok yang awalnya menggunakan ChatGPT harus menulis ulang tanpa bantuan AI, sedangkan kelompok yang sebelumnya tidak menggunakan AI justru diperbolehkan memakainya.
Alhasil, kelompok yang awalnya menggunakan AI hanya mengingat sedikit esai yang mereka tulis. Sedangkan, kelompok murni otak dapat menunjukkan daya yang lebih baik.
Artinya, jika AI digunakan secara tepat, bisa saja mendukung pembelajaran.
"Dari sudut pandang psikiatris, saya melihat bahwa ketergantungan yang berlebihan penggunaan AI ini dapat menimbulkan konsekuensi psikologis dan kognitif yang tidak diinginkan, terutama bagi anak muda yang otaknya masih berkembang," ujar Zishan Khan, seorang Psikiater yang menangani anak dan remaja.
Baca Juga: Keracunan Sodium Bromida Usai Tanya Soal Kesehatan ke ChatGPT, Ini Bahayanya
(*)