Ratusan Siswa Sekolah Rakyat Pilih Mengundurkan Diri, Apa Pemicunya?

Saras Bening Sumunar - Kamis, 14 Agustus 2025
Siswa Sekolah Rakyat mengundurkan diri.
Siswa Sekolah Rakyat mengundurkan diri. Paxels

Parapuan.co - Belakangan ini ramai kabar ratusan siswa memilih untuk mengundurkan diri dari beberapa Sekolah Rakyat (SR) di Indonesia. Untuk diketahui, Sekolah Rakyat Indonesia adalah program pendidikan berasrama yang tidak hanya memberikan akses pendidikan formal layaknya sekolah umum, tetapi juga berbagai pelatihan untuk menjadikan peserta didik lulusan yang unggul.

Berbeda dengan sekolah konvensional, SR berbentuk boarding school yang diharapkan dapat memastikan asupan gizi memadai bagi peserta didik. Program Sekolah Rakyat ini sendiri sudah resmi dimulai sejak 14 Juli 2025 lalu.

Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, Menteri Sosial (Mensos) mengatakan bahwa siswa Sekolah Rakyat yang paling banyak mengundurkan diri berasal dari Jawa dan Sulawesi. "Di Jawa dan Sulawesi masing-masing 35 siswa," ujar Gus Ipul dikutip dari Kompas. 

Setelah Jawa dan Sulawesi, daerah dengan jumlah siswa Sekolah Rakyat mengundurkan diri terbanyak adalah Sumatera dan Kalimantan. "Di Kalimantan ada 10 siswa, di Sumatera ada 26 siswa. Di Bali dan Nusa Tenggara 4 siswa, dan di Maluku 5 siswa yang mengundurkan diri. Di Papua, tidak ada" imbuhnya.

Gus Ipul menjelaskan, saat ini tercatat ada 115 orang siswa yang mengundurkan diri atau sekitar 1,4 persen dari total siswa Sekolah Rakyat yakni sebesar 9.705 orang.

Gus Ipul pun menegaskan, siswa yang mengundurkan diri juga telah dicarikan gantinya dengan siswa lain yang bersedia masuk ke Sekolah Rakyat. Misalnya di Sulawesi dari 35 siswa yang mundur, ada 26 yang sudah digantikan, dan sisanya masih dalam proses.

Kemudian di Bali dan Nusa Tenggara, dari empat siswa yang mundur, sudah digantikan seluruhnya, sedangkan di Kalimantan, masih dalam proses pergantian siswa. Sementara di Jawa, dari 35 siswa yang mundur, sudah terganti 19 siswa, Sumatera dari 26 siswa yang mundur, telah digantikan 14 siswa.

"Di Sulawesi, misalnya, dari 35 yang mundur, 26 sudah ada penggantinya, sisanya masih dalam proses," ujarnya. Gus Ipul mengatakan, alasan utama pengunduran diri para siswa antara lain karena tidak siap tinggal di asrama dan memilih bersekolah di sekolah reguler.

Selain itu, beberapa siswa juga beralasan tidak bisa jauh dari orang tua, ataupun mereka harus menjaga orang tua tunggal. Oleh karena itu, Gus Ipul melakukan dialog dengan siswa dan orang tua agar tetap menyekolahkan anaknya di Sekolah Rakyat.

Baca Juga: Ayah Antar Anak di Hari Pertama Sekolah, Ini Dampaknya bagi Buah Hati

"Kalau memang itu sudah menjadi pilihan siswa dan keluarganya, tentu kita tidak bisa memaksa. Tapi kita siapkan penggantinya karena sudah ada data calon siswa yang layak untuk masuk ke Sekolah Rakyat," jelas Gus Ipul.

Di sisi lain, menurut Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University Prof. Lala M Kolopaking masalah ini menunjukkan perlunya pendekatan sosial budaya yang lebih mendalam serta pelibatan masyarakat secara partisipatif sejak awal.

"Program Sekolah Rakyat itu tujuannya sangat baik, ingin membantu masyarakat yang kurang mampu. Akan tetapi mestinya ada pemetaan sosial budaya terlebih dahulu, agar program ini menyentuh kebutuhan dan karakter masyarakat setempat," kata Lala.

Lala mengatakan, dalam masalah ini penting untuk membuat masyarakat subjek dan tidak hanya dijadikan sebagai objek penerima manfaat Sekolah Rakyat. Menurutnya, absennya pendekatan partisipatif bisa menjadi penyebab utama ketidakbetahan siswa di Sekolah Rakyat sehingga mereka memilih mengundurkan diri.

"Ini sinyal bahwa membuat program yang baik itu tidak cukup hanya dengan niat, tapi harus dialokasikan pada masyarakat sekitar dengan pendekatan dialog. Jadi ada dialog yang dibangun, sehingga mereka paham," jelasnya.

"Kalau katanya tidak betah, boleh jadi orang yang sekolah di situ memang jauh dari budaya lokal. Bisa jadi mereka mengalami homesick," imbuhnya.

Lala menambahkan, sebenarnya sekolah berasrama yang digunakan Sekolah Rakyat cocok untuk anak-anak dari keluarga rentan di desa, tetapi adaptasi menjadi tantangan besar dalam model ini.

Meski demikian, kunci keberhasilan sekolah berasrama, menurut Lala terletak pada proses awal dialog, pemetaan sosial, serta seleksi siswa yang mempertimbangkan kondisi sosial budaya mereka.

Selain itu, Lala juga menekankan pentingnya kejelasan definisi tidak mampu dan relevansi kurikulum dengan potensi ekonomi lokal. Ia mencontohkan, sekolah di daerah perkebunan karet sebaiknya mengajarkan materi umum dan mengenalkan keterampilan seputar industrialisasi karet.

Sementara sekolah di wilayah pesisir mendapat fokus tambahan pada industrialisasi sektor maritim. "Agar sejak awal sekolah itu tahu berkesadaran untuk menjadi penggerak ekonomi lokal dan hidupnya sendiri," jelas Lala.

Baca Juga: Sekolah Anak dan Masa Depan Finansial, Investasi Jangka Panjang yang Sering Diabaikan


(*)