Ratusan Siswa Sekolah Rakyat Pilih Mengundurkan Diri, Apa Pemicunya?

Saras Bening Sumunar - Kamis, 14 Agustus 2025
Siswa Sekolah Rakyat mengundurkan diri.
Siswa Sekolah Rakyat mengundurkan diri. Paxels

"Kalau memang itu sudah menjadi pilihan siswa dan keluarganya, tentu kita tidak bisa memaksa. Tapi kita siapkan penggantinya karena sudah ada data calon siswa yang layak untuk masuk ke Sekolah Rakyat," jelas Gus Ipul.

Di sisi lain, menurut Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University Prof. Lala M Kolopaking masalah ini menunjukkan perlunya pendekatan sosial budaya yang lebih mendalam serta pelibatan masyarakat secara partisipatif sejak awal.

"Program Sekolah Rakyat itu tujuannya sangat baik, ingin membantu masyarakat yang kurang mampu. Akan tetapi mestinya ada pemetaan sosial budaya terlebih dahulu, agar program ini menyentuh kebutuhan dan karakter masyarakat setempat," kata Lala.

Lala mengatakan, dalam masalah ini penting untuk membuat masyarakat subjek dan tidak hanya dijadikan sebagai objek penerima manfaat Sekolah Rakyat. Menurutnya, absennya pendekatan partisipatif bisa menjadi penyebab utama ketidakbetahan siswa di Sekolah Rakyat sehingga mereka memilih mengundurkan diri.

"Ini sinyal bahwa membuat program yang baik itu tidak cukup hanya dengan niat, tapi harus dialokasikan pada masyarakat sekitar dengan pendekatan dialog. Jadi ada dialog yang dibangun, sehingga mereka paham," jelasnya.

"Kalau katanya tidak betah, boleh jadi orang yang sekolah di situ memang jauh dari budaya lokal. Bisa jadi mereka mengalami homesick," imbuhnya.

Lala menambahkan, sebenarnya sekolah berasrama yang digunakan Sekolah Rakyat cocok untuk anak-anak dari keluarga rentan di desa, tetapi adaptasi menjadi tantangan besar dalam model ini.

Meski demikian, kunci keberhasilan sekolah berasrama, menurut Lala terletak pada proses awal dialog, pemetaan sosial, serta seleksi siswa yang mempertimbangkan kondisi sosial budaya mereka.

Selain itu, Lala juga menekankan pentingnya kejelasan definisi tidak mampu dan relevansi kurikulum dengan potensi ekonomi lokal. Ia mencontohkan, sekolah di daerah perkebunan karet sebaiknya mengajarkan materi umum dan mengenalkan keterampilan seputar industrialisasi karet.

Sementara sekolah di wilayah pesisir mendapat fokus tambahan pada industrialisasi sektor maritim. "Agar sejak awal sekolah itu tahu berkesadaran untuk menjadi penggerak ekonomi lokal dan hidupnya sendiri," jelas Lala.

Baca Juga: Sekolah Anak dan Masa Depan Finansial, Investasi Jangka Panjang yang Sering Diabaikan


(*)