Keracunan Sodium Bromida Usai Tanya Soal Kesehatan ke ChatGPT, Ini Bahayanya

Arintha Widya - Senin, 11 Agustus 2025
Sodium bromida.
Sodium bromida. Kittisak Kaewchalun

Parapuan.co - Seiring semakin banyaknya interaksi manusia dengan kecerdasan buatan (AI), muncul kisah-kisah yang membuktikan bahwa percakapan dengan chatbot tak selalu aman. Dalam beberapa kasus, konsekuensinya bisa serius, bahkan membahayakan nyawa.

Selama ini, kita sering diingatkan untuk tidak mencari di Google terkait gejala penyakit karena hanya tenaga medis yang bisa memberi diagnosis berdasarkan pemeriksaan langsung dan riwayat kesehatan pasien.

Kini, sebuah laporan kasus yang diterbitkan di "American College of Physicians Journals" menunjukkan bahwa hal serupa berlaku ketika kita menanyakan masalah kesehatan ke chatbot.

Seorang pria mengalami keracunan setelah mengikuti saran dari ChatGPT untuk mengganti garam dengan sodium bromida atau NaBr. Simak kisahnya dan apa bahaya sodium bromida untuk kesehatan sebagaimana melansir berbagai sumber.

Dari Ganti Garam Meja hingga Keracunan Bromida

Kisah ini menimpa seorang pria berusia 60 tahun yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit fisik atau gangguan kejiwaan. Ia ingin menghilangkan natrium klorida (garam meja) dari makanannya karena khawatir dengan efek buruk garam terhadap kesehatan.

"Terinspirasi dari riwayatnya mempelajari gizi di bangku kuliah, ia memutuskan melakukan eksperimen pribadi untuk menghilangkan klorida dari dietnya," tulis laporan tersebut mengutip The Independent.

Setelah mencari informasi di internet, pria ini berkonsultasi dengan ChatGPT. Dari percakapan itu, ia membaca bahwa klorida bisa diganti dengan bromida—meski sebenarnya informasi tersebut lebih relevan untuk keperluan non-konsumsi, seperti pembersihan.

Akhirnya, ia mengganti garam meja dengan sodium bromida yang dibeli secara online, dan mengonsumsinya selama tiga bulan.

Baca Juga: Kemenkes Jelaskan Pentingnya Membatasi Gula dan Garam untuk MPASI

Gejala Aneh dan Masuk Rumah Sakit

Pada suatu hari, pria tersebut harus dilarikan ke rumah sakit. Dalam 24 jam pertama perawatan, ia menunjukkan gejala mencemaskan: rasa haus berlebihan namun curiga terhadap air yang diberikan, paranoia, hingga halusinasi visual dan auditori. "Ia tampak sangat haus tetapi paranoid terhadap air yang ditawarkan," tulis laporan itu.

Pemeriksaan lebih lanjut menemukan tanda-tanda fisik seperti jerawat di wajah dan cherry angiomas (bintik merah pada kulit), yang memperkuat dugaan bahwa ia mengalami bromisme atau keracunan bromida.

Kondisi ini sempat banyak ditemukan pada awal 1990-an ketika bromida digunakan dalam obat bebas untuk insomnia, histeria, dan kecemasan. Namun, kini kasusnya jarang karena bromida diketahui cukup toksik.

Apa Itu Sodium Bromida?

Melansir Study.com, sodium bromida (NaBr) adalah senyawa kimia yang terdiri dari ion natrium bermuatan positif dan ion bromin bermuatan negatif. Dahulu, sodium bromida digunakan di dunia medis sebagai obat penenang dan antikejang, namun kini lebih sering dipakai untuk keperluan non-medis seperti perawatan kolam renang, hot tub, atau dalam industri perminyakan.

Dampak Bromisme pada Tubuh

Keracunan bromida bisa memicu gejala neuropsikiatri seperti kebingungan, paranoia, dan halusinasi, serta gejala dermatologis seperti ruam atau lesi kulit. Dalam kasus ini, pria tersebut dirawat dengan pemberian cairan dan elektrolit hingga kondisinya stabil. Ia kemudian dipindahkan ke unit psikiatri rawat inap, dan menghabiskan tiga minggu di rumah sakit sebelum akhirnya diperbolehkan pulang.

Para penulis laporan memperingatkan, "Penting untuk mempertimbangkan bahwa ChatGPT dan sistem AI lainnya dapat menghasilkan ketidakakuratan ilmiah, tidak memiliki kemampuan untuk membahas hasil secara kritis, dan pada akhirnya memicu penyebaran misinformasi."

Baca Juga: Dua Keunggulan Utama Garam Himalaya yang Menjadikannya Lebih Sehat

OpenAI, pengembang ChatGPT, juga telah menegaskan hal ini dalam Ketentuan Layanan mereka. Di sana tertulis, "Anda tidak boleh mengandalkan output dari layanan kami sebagai satu-satunya sumber kebenaran atau informasi faktual, atau sebagai pengganti nasihat profesional."

Mereka juga menambahkan bahwa layanan mereka "tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam diagnosis atau pengobatan kondisi kesehatan."

Kisah ini menjadi pengingat bahwa eksperimen kesehatan sebaiknya tidak dilakukan tanpa panduan tenaga medis, dan informasi dari chatbot tidak bisa menggantikan saran profesional.

Dalam dunia kesehatan, salah langkah bisa berujung pada risiko serius—bahkan ketika niat awalnya adalah untuk menjadi lebih sehat.

(*)

Sumber: The Independent
Penulis:
Editor: Arintha Widya