Kurnianing Isololipu

Kepala Prodi Magister Administrasi Bisnis, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Pemerhati Perempuan

Ibu yang Berbahagia, Mengasuh Anak dengan Benar

Kurnianing Isololipu Senin, 28 Juli 2025
Ibu yang Berbahagia, Mengasuh Anak dengan Benar.
Ibu yang Berbahagia, Mengasuh Anak dengan Benar. (Maria Kolberg/iStockphoto)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Pemerintah menetapkan bahwa setiap tanggal 23 Juli adalah Hari Anak. Tema yang diusung untuk tahun ini adalah “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045” dengan tagline Anak Indonesia Bersaudara.”

Saya menjadi teringat hampir 8 tahun yang lalu, ketika saya konsultasi ke seorang psikoterapis terbaik di negeri ini, Opa Dono Baswardono. Ketika konsultasi selesai, Opa Dono berpesan, “Ibu perlu berbahagia dulu, maka Ibu dapat mengasuh anak Ibu dengan baik.” Pesan yang membuat saya berkaca-kaca, sembari meninggalkan ruang konsultasi.

Pesan di 8 tahun lalu, yang saya selalu ingat dan simpan di dalam hati. Juga, menimbulkan berbagai pertanyaan di benak saya. Ibu perlu menjadi bahagia. Bahagia yang seperti apa? Apa maksud dari pesan tersebut? Proses cukup panjang saya jalani, hingga saya mampu memahami maksud dari pesan tersebut.

Seorang Ibu, terutama di negara dengan budaya Timur dan patriarki yang masih kuat, sering ditempatkan sebagai orang kesekian di dalam keluarga. Ketika belum memiliki anak, maka istri perlu mendahulukan suami. Saat sudah hadir anak, buah hati di dalam keluarga, maka perhatian tercurah pada anak tersebut. Ibu selalu mendahulukan kepentingan anggota keluarga. Bahkan, Ibu berusaha mengorbankan dirinya, hanya untuk melihat anggota keluarganya bahagia.  

Doktrin, nilai, keyakinan begitu tertanam kuat pada diri Ibu, bahwa ia harus mendahulukan kebutuhan anggota keluarganya dan kebutuhan dirinya adalah prioritas terakhir. Tertanam kuat, karena ajaran-ajaran itu sudah mulai diberikan saat Ibu masih menjadi anak perempuan, gadis remaja dan perempuan dewasa. Hingga akhirnya, saat perempuan dewasa ini menjadi Ibu, tombol aktivasi atas ajaran-ajaran itu seperti menyala dalam dirinya. Satu-satunya hal yang dapat melemahkan nyala itu adalah saat Ibu lelah, saat Ibu perlu istirahat. Meski, dalam situasi seperti inipun, Ibu pasti tetap berusaha menjalankan perannya.

Apa yang dilakukan Ibu, seperti sudah menunjukkan definisi kebahagiaan itu sendiri. Ibu bahagia saat anggota keluarga, terutama anak bahagia, gembira. Namun, apakah kebahagiaan yang Ibu rasakan itu adalah kebahagiaan yang sejati?

Para Ibu yang membaca tulisan ini, tak perlu langsung menjawab. Ambillah hening bersama diri, untuk menemukan jawaban jujur. Heningpun, perlu dilakukan berkali agar jawaban murni, hadir.

Mungkin Ibupun akan sulit saat diminta untuk mengartikan bahagia untuk dirinya sendiri. Apa arti bahagia menurut Ibu? Jikapun dijawab, maka kemungkinan besar bahagianya tetap direlasikan dengan anggota keluarga, bukan pada dirinya sendiri. Adalah hal yang wajar, karena Ibu secara tak sadar sudah melupakan arti bahagia untuk dirinya sendiri. Bukankah begitu, Ibu?

Baca Juga: Kimberly Ryder Ungkap Pentingnya Self-Care dan Support System untuk Kebahagiaan Ibu

Lalu, apakah kondisi seperti ini terus dibiarkan? Norma, nilai, doktrin yang salah tentang menjadi Ibu, apakah tetap perlu dipelihara? Jika Indonesia hendak memiliki generasi cerdas, tangguh dan berdaya saing tinggi untuk menyongsong 100 tahun Indonesia Merdeka, tentu perlu upaya mengubah kondisi itu.

Tidak dapat dipungkiri, pembentukan generasi dimulai dari keluarga, dengan peran Ibu yang kuat. Bahkan ada idiom yang mengatakan bahwa Ibu adalah tiangnya keluarga. Saat tiang itu rapuh, maka keluarga mungkin menjadi tak seimbang.

Tak perlu berharap pada lingkungan atau bahkan, masyarakat dan pemerintah, Ibu saja yang berusaha untuk belajar memahami dirinya, mengerti arti bahagia menurut dirinya. Lepas dari doktrin dan ajaran yang selama ini Ibu dapatkan. Hal ini, mungkin saja menakutkan bagi para Ibu, karena saat Ibu memahami arti bahagia untuk dirinya, Ibu dapat menjadi terlihat “berbeda”. Tentu, ketika menjadi berbeda, yang muncul di benak Ibu pertama kali adalah “penolakan” dari lingkungannya, baik itu keluarga, sosial maupun masyarakat dimana dirinya berada.

Rasa takut Ibu itu wajar, karena doktrin dan keyakinan yang sudah lama ditanam ini, dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak. Berproses saja secara perlahan. Lakukan saja hal-hal yang membuat Ibu bahagia secara jujur.

Tidak perlu yang mengeluarkan biaya, seperti pergi berlibur jauh. Bisa memasak sambil mendengarkan lagu dan menggoyangkan tubuh mengikuti irama musik. Minum teh hangat sembari duduk di halaman, memandangi pot-pot tanaman yang dirawat penuh cinta oleh Ibu. Tidur lebih lama di waktu akhir pekan. Bermain bersama anak untuk merawat anak batin Ibu juga. Tak ada yang salah dengan ini semua.

Ada banyak hal yang bisa Ibu lakukan, untuk mendapatkan arti bahagia menurut diri Ibu. Bukan menurut doktrin, keyakinan ataupun nilai yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat.

Carilah arti bahagia menurut dirimu, Ibu. Karena saat Ibu bahagia, sudah pasti Ibu mampu mengasuh anak dengan senang hati. Saat anak marah, anak tantrum, Ibu tetap dapat melihat anak dengan kacamata cinta yang murni. Ibu tak akan terpancing untuk marah, tidak juga akan mengeluarkan tindakan-tindakan yang berujung trauma pada anak.

Sebaliknya, dengan rasa cinta, Ibu menemani anak untuk menerima rasa marahnya, rasa takutnya. Pada akhirnya, anakpun merasa aman dalam tumbuh kembangnya. Selamat Hari Anak. Berilah hak anak dalam pengasuhan yang tepat dengan menjadikan diri Ibu bahagia terlebih dulu!

(*)

Baca Juga: Bagai Pisau Bermata Dua, Ini Pentingnya Peran Ibu Membimbing Anak di Era Digital