"Pembunuhan perempuan adalah kejahatan yang diabaikan oleh hukum," ujarnya. "Diamnya perempuan adalah kaki tangan kejahatan, dari semua pihak, baik lembaga resmi, badan hukum, maupun dari masyarakat," imbuhnya.
Contoh ketidakadilan hukum pada perempuan lainnya juga terjadi di Santa Barbara, California, Amerika Serikat. Merujuk dari laman Independent, seorang laki-laki dengan sengaja merekam anak perempuan yang sedang berganti baju di sekolah tempat ia pekerja.
Atas kasus tersebut, pelaku didakwa dengan pelanggaran ringan. Namun, tersangka akhirnya dibebaskan dengan jaminan meskipun terdapat bukti yang menunjukkan bahwa ia adalah pelaku pelecehan anak. Pembebasan ini juga terjadi karena hakim menilai pelaku memiliki latar belakang pengetahuan memadai tentang ilmu perilaku.
Mengapa Perempuan Masih Rentan dengan Ketidakadilan Hukum?
Menurut penulis, salah satu akar dari ketidakadilan hukum yang masih dialami oleh perempuan adalah keberadaan struktur patriarki yang telah mengakar begitu dalam sistem sosial dan politik. Dalam masyarakat yang patriarkal, laki-laki secara historis menempati posisi dominan dalam pengambilan keputusan, baik dalam rumah tangga, institusi sosial, maupun lembaga negara, termasuk lembaga penegak hukum.
Hal ini menyebabkan hukum yang dibuat, ditegakkan, dan ditafsirkan sering kali tidak mempertimbangkan secara adil sudut pandang dan pengalaman perempuan. Misalnya, dalam banyak kasus kekerasan seksual, perempuan sering kali dibebani tanggung jawab untuk membuktikan bahwa mereka bukan penyebab terjadinya kekerasan tersebut, alih-alih pelaku yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Cara pandang seperti ini lahir dari norma patriarkal yang cenderung menyalahkan korban (victim blaming), dan secara tidak langsung melegitimasi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dalam proses hukum.
Bukan hanya itu, penulis juga menilai bahwa kesenjangan akses terhadap informasi dan bantuan hukum juga menjadi penyebab lain ketidakadilan hukum pada perempuan. Kamu juga perlu memahami bahwa banyak perempuan, khususnya di wilayah pedesaan atau dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, mengalami hambatan besar dalam mengakses informasi hukum dan mendapatkan bantuan hukum yang layak.
Rendahnya tingkat pendidikan hukum, ketakutan terhadap stigma sosial, serta minimnya penyedia layanan bantuan hukum yang sensitif gender membuat banyak perempuan akhirnya memilih untuk tidak melaporkan pelanggaran hukum yang mereka alami.
Lebih jauh lagi, sistem hukum yang berbelit-belit dan kerap kali tidak ramah terhadap korban justru menjadi penghalang utama dalam upaya perempuan untuk mendapatkan keadilan.
Hal ini diperparah dengan kurangnya petugas hukum, seperti polisi atau jaksa, yang memiliki pelatihan khusus dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan, seperti KDRT atau pelecehan seksual.
Penulis menekankan bahwa ketidakadilan hukum yang masih dialami perempuan adalah cerminan dari masalah struktural yang harus diselesaikan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Mulai dari reformasi hukum yang lebih berpihak pada korban, peningkatan edukasi hukum kepada masyarakat, peningkatan akses bantuan hukum, hingga penguatan representasi perempuan di lembaga hukum adalah langkah-langkah yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.
Ketika sistem hukum benar-benar bekerja secara adil bagi semua, maka perempuan tidak lagi menjadi kelompok rentan, tetapi menjadi bagian setara yang turut menentukan arah keadilan di negeri ini.
Baca Juga: Ancaman Kejahatan Digital dan KBGO Gunakan AI, Seruan untuk Perlindungan Lebih Kuat
(*)