Parapuan.co - Di tengah laju modernisasi yang pesat dan narasi kesetaraan gender yang semakin lantang digaungkan di berbagai ruang publik, tak dapat dimungkiri bahwa perempuan masih menghadapi berbagai tantangan serius yang bersifat sistemik dan struktural.
Meski kamu bisa melihat kemajuan signifikan dalam beberapa aspek, seperti meningkatnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, terbitnya regulasi yang melindungi hak-hak perempuan, serta tumbuhnya kesadaran sosial terhadap isu-isu gender, namun faktanya, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan.
Berbagai kasus kekerasan seksual, diskriminasi di tempat kerja, hingga ketidakadilan dalam proses peradilan menunjukkan bahwa perempuan sering kali berada dalam posisi yang lemah dan kurang mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga masih menghantui negara-negara maju yang konon telah mencapai tingkat emansipasi perempuan yang tinggi.
Misalnya saja kasus di Afganistan yang belakangan tengah disorot oleh dunia. Diketahui dua pemimpin tertinggi Taliban yakni Haibatullah Akhundzada dan Abdul Hakim Haqqani diduga melakukan kejahatan kemanusiaan khususnya penindasan terhadap perempuan.
Kedua pemimpin ini membuat kebijakan yang seakan membatasi perempuan. Misalnya pelarangan bekerja bagi perempuan hingga dilarangnya anak perempuan melanjutkan pendidikan di tingkat menengah.
Bukan itu saja, kedua pemimpin tersebut juga memberlakukan berbagai pembatasan lainnya yang semakin menyingkirkan perempuan dari ruang publik. Seperti larangan berjalan-jalan di taman dan berbicara di depan umum, yang semuanya dilakukan dengan tujuan untuk menghapus eksistensi perempuan dari kehidupan sosial.
Sementara menurut laman Raseef, minimnya keadilan untuk perempuan juga terjadi di Aljazair. Ada banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bahkan ada 1.404 perempuan yang menjadi korban di tahun 2022.
Walau demikian, asosiasi perempuan di Aljazair berpendapat bahwa angka tersebut tidak sesuai kenyataan. Pasalnya, masih banyak perempuan yang tidak melaporkan pelaku karena berbagai alasan.
Pertama karena hubungan mereka (suami-istri) dan hukum yang tidak berpihak pada perempuan korban kekerasan. Seorang pendiri surat kabar Feminis Aljazair, Amal Hajjaj bahkan mengatakan bahwa kasus kekerasan dan pembunuhan adalah kejahatan yang diabaikan oleh hukum.
Baca Juga: Gisèle Pelicot Terima Legion of Honour, Simbol Keberanian Melawan Kekerasan Seksual