Nenden Sekar Arum SAFEnet Soroti Perbedaan Respon terhadap Korban KBGO

Arintha Widya - Sabtu, 19 Juli 2025
Nenden S. Arum bicara soal perbedaan respons pada korban KBGO.
Nenden S. Arum bicara soal perbedaan respons pada korban KBGO. Instagram @nendensan

Parapuan.co - Fenomena Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) tak hanya menyasar perempuan, namun juga laki-laki. Meski demikian, respons terhadap korban dari dua kelompok ini kerap berbeda, baik dari segi pola ancaman maupun cara penanganannya.

Hal ini diungkapkan oleh Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), dalam wawancara bersama PARAPUAN.

Perbedaan Pola Ancaman pada Korban KBGO Laki-Laki dan Perempuan

Menurut Nenden, ada perbedaan motif dan modus kekerasan ketika korbannya adalah laki-laki maupun perempuan. Perempuan, kata Nenden, umumnya diancam menggunakan tubuh dan orientasi seksual mereka. Sedangkan pada laki-laki, ancaman sering kali disertai motif ekonomi.

"Kalau laki-laki biasanya diancamnya memang diiringi misalnya dengan motif ekonomi. Bagaimana kemudian dia diperas. Kalau misal video call sex-nya dia tidak mau disebarkan rekamannya, maka harus membayar sekian ratus ribu atau sekian juta," jelas Nenden mencontohnya.

Meskipun berbeda dalam bentuk, keduanya tetap menyisakan ketakutan, rasa malu, dan kerugian yang serius. Baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama enggan mengungkap identitas mereka sebagai korban karena tekanan sosial dan stigma yang melekat.

Laki-Laki Sering Tak Dianggap Sebagai Korban

Salah satu tantangan utama dalam penanganan kasus KBGO terhadap laki-laki adalah minimnya pengakuan bahwa mereka juga bisa menjadi korban. Nenden menilai, masyarakat masih memandang laki-laki sebagai pihak yang kuat dan berkuasa, sehingga sulit menerima fakta bahwa mereka juga rentan terhadap kekerasan seksual daring.

"Di society juga gitu ya, posisi laki-laki itu seringkali dianggap lebih kuat, lebih powerful. Jadi nggak mungkin nih jadi korban. Padahal kita tetap menemukan bahwa mereka bisa berpotensi juga menjadi korban," kata Nenden.

Baca Juga: Victim Blaming Bahkan Datang dari Penegak Hukum, Ke Mana Korban KBGO Menuntut Keadilan?

Akibatnya, ketika laki-laki mengalami KBGO, kasusnya kerap hanya dikategorikan sebagai penipuan atau pemerasan, bukan sebagai kekerasan berbasis gender. Ini memperlihatkan adanya bias dalam sistem hukum dan sosial yang masih abai terhadap kompleksitas kekerasan digital.

Tantangan Advokasi dan Regulasi Perlindungan Korban KBGO

SAFEnet sebagai organisasi yang aktif dalam advokasi perlindungan korban KBGO menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal regulasi dan kebijakan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah minimnya transparansi dalam penyusunan undang-undang dan aturan turunannya.

"Dalam konteks penyusunan undang-undang ataupun regulasi Indonesia itu tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna," ujar Nenden. Ia mencontohkan bagaimana aturan turunan dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tiba-tiba muncul tanpa melibatkan organisasi masyarakat sipil.

Selain tantangan dalam proses legislasi, implementasi di lapangan juga masih lemah. Menurut Nenden, penting untuk memastikan bahwa semua pihak, terutama aparat penegak hukum, memiliki perspektif yang sama dalam menangani kasus KBGO agar penanganan dapat berlangsung secara adil dan menyeluruh.

"Tantangan selanjutnya adalah dalam konteks implementasinya, bagaimana untuk memastikan semua pihak ini memiliki perspektif yang sama ketika menangani sebuah kasus," tegasnya.

Baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korban KBGO, meski dengan motif dan pola yang berbeda. Sayangnya, respons publik dan hukum terhadap korban sering kali dipenuhi prasangka, dan tak jarang menyalahkan korban atas apa yang menimpa mereka.

Untuk itu, penting bagi sistem hukum, lembaga advokasi, dan masyarakat luas untuk memiliki pemahaman yang adil, inklusif, dan berperspektif korban dalam menangani kekerasan berbasis gender online.

SAFEnet terus mendorong agar regulasi yang ada tidak hanya hadir sebagai simbol, tetapi juga benar-benar melindungi semua korban tanpa kecuali.

Baca Juga: Ancaman Kejahatan Digital dan KBGO Gunakan AI, Seruan untuk Perlindungan Lebih Kuat

(*)

Sumber: Wawancara
Penulis:
Editor: Arintha Widya