Parapuan.co - Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), akan menerbitkan sebuah Instruksi Presiden (Inpres) yang secara khusus akan mengatur tentang Gerakan Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA).
Kebijakan tersebut disusun atas bentuk tanggapan konkret dan menyeluruh terhadap meningkatnya angka kekerasan yang dialami oleh kelompok rentan ini di berbagai wilayah Indonesia. Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menegaskan bahwa saat ini draf akhir dari Inpres GN-AKPA sedang disusun.
Inpres ini dirancang bukan semata-mata sebagai regulasi administratif, melainkan sebagai langkah strategis dan terukur dari negara untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak di seluruh pelosok negeri.
Mengingat, kasus kekerasan terhadap anak dan peremuan semakin mengkhawatirkan. Menurut Arifah, negara tidak boleh tinggal diam ataupun menunda upaya dalam menghadirkan perlindungan bagi warganya yang paling rentan.
Apalagi negara memiliki tanggung jawab mutlak untuk memastikan bahwa setiap individu, terutama perempuan dan anak, merasa aman dan terlindungi dari segala bentuk kekerasan.
Ia menegaskan bahwa kehadiran Instruksi Presiden ini adalah manifestasi nyata dari komitmen negara yang bersifat menyeluruh dan sistematis dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan.
"Kita tidak bisa menunggu, negara harus hadir. Rancangan Inpres GN-AKPA adalah bentuk nyata dan terukur dari komitmen negara untuk membangun perlindungan," ujar Arifah dalam keterangan pers sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com.
Arifah juga mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil temuan dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), diketahui bahwa satu dari setiap lima perempuan di Indonesia pernah menjadi korban kekerasan.
Angka tersebut mencerminkan urgensi perlindungan yang lebih kuat dari negara terhadap kasus kekerasan.
Baca Juga: Tragedi Mei 1998 dan Seruan Komnas Perempuan untuk Hapus Kekerasan Seksual dalam Konflik
Sementara itu, data yang diperoleh dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) menunjukkan bahwa satu dari dua anak Indonesia pernah mengalami bentuk kekerasan tertentu, menandakan bahwa anak-anak juga berada dalam situasi yang sangat rentan.
"Kemudian Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) juga mencatat satu dari dua anak Indonesia menjadi korban," jelasnya.
Lebih lanjut, Arifah menyampaikan bahwa situasi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia saat ini telah memasuki kondisi darurat yang memerlukan respons segera dari seluruh elemen.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh KemenPPPA hingga tanggal 7 Juli 2025, tercatat sebanyak 14.133 kasus kekerasan, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 12.161 korban merupakan perempuan.
Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan tetap menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan, dengan sebagian besar kasus terjadi di lingkungan rumah tangga.
Melihat kenyataan ini, Arifah menekankan bahwa kehadiran Inpres ini bukan hanya sebatas kebijakan formalitas dari pemerintah pusat, melainkan merupakan bentuk komitmen negara yang berfungsi sebagai tameng atau pelindung nyata bagi perempuan dan anak-anak.
Mereka juga berhak merasa aman dan tidak lagi dihantui oleh rasa takut, baik ketika berada di rumah sendiri, di lingkungan pendidikan seperti sekolah, di tempat mereka bekerja, maupun saat beraktivitas di ruang-ruang publik.
Arifah juga menyatakan bahwa melalui Inpres ini, pemerintah ingin mendorong keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan. Mulai dari tingkat pemerintahan pusat hingga ke desa-desa terutama dalam upaya untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Inpres ini diharapkan bisa menjadi landasan yang kuat untuk menciptakan ekosistem perlindungan yang holistik dan berkelanjutan. Di mana setiap elemen masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan tidak ada satu pun perempuan dan anak yang harus hidup dalam ketakutan.
Baca Juga: Bagaimana Peran Media Perempuan Ikut Menghapus Stigma terhadap Korban Kekerasan Seksual?
(*)