Tragedi Mei 1998 dan Seruan Komnas Perempuan untuk Hapus Kekerasan Seksual dalam Konflik

Arintha Widya - Rabu, 9 Juli 2025
Penghapusan kekerasan seksual dalam konflik seperti tragedi Mei 1998 jadi sorotan Komnas Perempuan.
Penghapusan kekerasan seksual dalam konflik seperti tragedi Mei 1998 jadi sorotan Komnas Perempuan. Tinnakorn Jorruang

Parapuan.co - Dalam rangka memperingati Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Situasi Konflik, Komnas Perempuan menyerukan agar pemerintah Indonesia lebih serius menjalankan Rekomendasi Umum Nomor 30 CEDAW tentang perempuan dalam situasi konflik dan pascakonflik.

Rekomendasi ini menekankan pentingnya negara menjamin akses keadilan, pemulihan yang efektif, serta reparasi menyeluruh bagi perempuan korban kekerasan, termasuk restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi, serta jaminan bahwa kekerasan serupa tidak terulang kembali.

Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menyampaikan bahwa negara memiliki tanggung jawab kuat untuk menyelesaikan berbagai kasus kekerasan seksual dalam konflik, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung.

Konflik yang dimaksud mencakup intoleransi, konflik sumber daya alam, bencana, migrasi, perdagangan orang, hingga peredaran narkotika yang meningkatkan kerentanan perempuan.

Ia menekankan, pendekatan terhadap isu ini harus didasarkan pada prinsip non-diskriminasi, akuntabilitas, pelibatan korban, serta pemulihan dan pencegahan yang adil dan menyeluruh.

"Negara harus menempatkan korban sebagai pusat dalam kebijakan dan program penanganan kekerasan seksual di situasi konflik," ungkap Dahlia sebagaimana dalam siaran pers Komnas Perempuan yang dikutip PARAPUAN.

Komnas Perempuan juga menyoroti kembali keprihatinan Komite CEDAW yang tercantum dalam Concluding Observations atas laporan periodik Indonesia, termasuk laporan tahun 2012 dan 2021.

Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa upaya negara belum maksimal dalam memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual dalam berbagai konflik besar di Indonesia, seperti peristiwa 1965, konflik di Timor Leste, Aceh, Poso, Ambon, Papua, serta Tragedi Mei 1998.

Komite CEDAW mendesak pemerintah untuk mengungkap kebenaran, memberikan reparasi yang menyeluruh, dan menjamin hak atas keadilan melalui jalur yudisial maupun non-yudisial yang berpihak pada kebutuhan korban.

Baca Juga: Menolak Penyangkalan Kekerasan Seksual dalam Tragedi Kelam Mei 1998

Upaya ini juga mencakup langkah-langkah pencegahan agar kekerasan tidak kembali terulang.

Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, menegaskan bahwa “negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak perempuan korban, terutama dalam menjamin kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan sebagai satu kesatuan pemulihan yang berkeadilan.”

Meski pemerintah telah mengadopsi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3KS), Komnas Perempuan menilai pelaksanaannya masih belum optimal. Pelibatan perempuan penyintas dalam pengambilan keputusan juga belum menjadi prioritas.

Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS), yang mencakup pencegahan, penanganan, pemberdayaan, dan partisipasi, perlu dijalankan secara lebih konkret, baik di tingkat nasional maupun daerah, serta didukung oleh berbagai pihak termasuk masyarakat sipil.

Komnas Perempuan mencatat bahwa hingga kini banyak korban kekerasan seksual dalam konflik masih menanggung trauma yang dalam. Hak-hak mereka belum sepenuhnya dipenuhi.

Oleh sebab itu, negara perlu segera menjalankan tanggung jawabnya dalam kerangka keadilan transisional—yang mencakup pengungkapan kebenaran, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan—demi mengembalikan martabat korban dan menciptakan keadilan yang sejati.

Baca Juga: Hari Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Konflik, Langkah Memutus Siklus Kekejaman

(*)

Sumber: Komnas Perempuan
Penulis:
Editor: Arintha Widya