Parapuan.co - Isu kekerasan seksual terhadap perempuan di masa lalu, yakni pemerkosaan massal 1998, kembali mencuat ke ruang publik usai pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Beberapa waktu lalu Fadli mengeluarkan pernyataan tentang tidak adanya pemerkosaan massal Mei 1998 seiring dengan rencana penulisan ulang sejarah.
Kontroversi kembali terjadi dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI pada Rabu (5/7/2025) sebagaimana dikutip PARAPUAN dari Kompas.com. Dalam kesempatan tersebut, Fadli mempertanyakan istilah "massal" yang digunakan dalam menyebut peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998.
Meskipun Fadli menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal peristiwa tersebut, ia menyatakan keraguannya atas label "massal". Ia menyebut bahwa istilah tersebut lazim digunakan untuk peristiwa yang bersifat terstruktur dan sistematis, seperti kasus di Nanjing atau Bosnia.
"Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000, di Bosnia itu antara 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras," ujarnya.
Fadli Zon menambahkan, dirinya telah mengikuti isu ini selama lebih dari dua dekade dan siap berdialog sebagai sejarawan, bukan semata sebagai pejabat publik. "Saya siap sebagai seorang sejarawan dan peneliti untuk mendiskusikan ini. Tidak ada denial sama sekali," katanya.
Namun, ia juga menyebutkan keraguan terhadap pendokumentasian peristiwa ini, merujuk pada investigasi Majalah Tempo tahun 1998 dan pernyataan aktivis Sidney Jones yang disebut mengalami kesulitan bertemu langsung dengan para korban.
Reaksi Emosional Anggota Dewan Perempuan
Pernyataan Fadli langsung memicu emosi sejumlah anggota DPR, terutama dari Fraksi PDI-P. Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayati dan anggota DPR Mercy Chriesty Barends tidak mampu menahan tangis saat menyampaikan tanggapan mereka. My Esti, dengan suara bergetar, menyatakan bahwa penjelasan Fadli yang teoretis tidak menunjukkan kepekaan terhadap penderitaan korban.
"Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari," kata My Esti dengan mata berkaca-kaca.
Baca Juga: Bagaimana Peran Media Perempuan Ikut Menghapus Stigma terhadap Korban Kekerasan Seksual?
Menurutnya, luka kolektif yang dialami para perempuan korban pemerkosaan 1998 bukan sekadar data dan teori, melainkan peristiwa kemanusiaan yang membutuhkan empati dan pengakuan. "Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan," tambah My Esti.
Sementara itu, Mercy Barends juga menyuarakan keprihatinannya atas upaya negara yang dinilainya lamban dalam mengakui sejarah kelam tersebut. Ia mengingatkan tentang kasus perempuan Indonesia korban perbudakan seksual Jepang (Jugun Ianfu) yang diakui oleh pemerintah Jepang melalui pengadilan internasional. "Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua," tegasnya sambil menitikkan air mata.
Protes Koalisi Masyarakat Sipil
Sikap Fadli Zon juga memantik aksi protes dari Koalisi Masyarakat Sipil yang hadir di balkon ruang rapat. Mereka membentangkan spanduk dan poster bertuliskan tuntutan, seperti “Hentikan pemutihan sejarah!” dan “Tolak gelar pahlawan Soeharto!” sebagai bentuk penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional yang kini digagas pemerintah.
Fadli merespons aksi tersebut dengan santai. "Ya, biasalah, kita dulu juga begitu," ujarnya. "Biasa sajalah, aspirasi ya," sambungnya. Ia menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah tetap akan dilanjutkan. "Enggak (akan ditunda). Jangan menghakimi apa yang belum ada. Jangan-jangan nanti Anda lebih suka dengan sejarah ini," katanya.
Menurut Fadli, proyek ini bertujuan mengisi kekosongan narasi sejarah nasional dalam 26 tahun terakhir, dan dikerjakan oleh sejarawan profesional dari berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga menyebut bahwa sejarah perlu ditulis ulang dengan pendekatan khas Indonesia, dengan melibatkan berbagai perspektif akademis. "Yang kita tulis ini adalah secara umum untuk mengisi kekosongan 26 tahun kita tidak menulis sejarah," ujarnya.
Catatan untuk Perspektif Perempuan
Pernyataan dan perdebatan seputar pemerkosaan massal 1998 kembali menunjukkan betapa pentingnya pendekatan yang berpusat pada korban, terutama perempuan. Luka sejarah tidak bisa disembuhkan dengan narasi yang datar dan netral, tetapi membutuhkan pengakuan, empati, dan penghormatan terhadap pengalaman nyata para penyintas.
Bagi banyak perempuan, terutama yang pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan seksual secara langsung maupun tidak langsung, narasi ini bukan sekadar angka dan dokumen. Ia adalah kenangan kolektif yang membentuk trauma, identitas, dan perjuangan.
Ketika sejarah ditulis ulang, penting untuk memastikan bahwa suara perempuan tidak kembali terhapus, dan bahwa rekonsiliasi sejarah tidak dilakukan dengan menutup luka, tetapi dengan mengobatinya. Sebab di balik catatan sejarah yang panjang, perempuan tidak boleh hanya menjadi subjek yang diceritakan, tetapi harus menjadi pihak yang didengar dan dipercaya.
Baca Juga: Menolak Penyangkalan Kekerasan Seksual dalam Tragedi Kelam Mei 1998
(*)