Menurutnya, luka kolektif yang dialami para perempuan korban pemerkosaan 1998 bukan sekadar data dan teori, melainkan peristiwa kemanusiaan yang membutuhkan empati dan pengakuan. "Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan," tambah My Esti.
Sementara itu, Mercy Barends juga menyuarakan keprihatinannya atas upaya negara yang dinilainya lamban dalam mengakui sejarah kelam tersebut. Ia mengingatkan tentang kasus perempuan Indonesia korban perbudakan seksual Jepang (Jugun Ianfu) yang diakui oleh pemerintah Jepang melalui pengadilan internasional. "Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua," tegasnya sambil menitikkan air mata.
Protes Koalisi Masyarakat Sipil
Sikap Fadli Zon juga memantik aksi protes dari Koalisi Masyarakat Sipil yang hadir di balkon ruang rapat. Mereka membentangkan spanduk dan poster bertuliskan tuntutan, seperti “Hentikan pemutihan sejarah!” dan “Tolak gelar pahlawan Soeharto!” sebagai bentuk penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional yang kini digagas pemerintah.
Fadli merespons aksi tersebut dengan santai. "Ya, biasalah, kita dulu juga begitu," ujarnya. "Biasa sajalah, aspirasi ya," sambungnya. Ia menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah tetap akan dilanjutkan. "Enggak (akan ditunda). Jangan menghakimi apa yang belum ada. Jangan-jangan nanti Anda lebih suka dengan sejarah ini," katanya.
Menurut Fadli, proyek ini bertujuan mengisi kekosongan narasi sejarah nasional dalam 26 tahun terakhir, dan dikerjakan oleh sejarawan profesional dari berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga menyebut bahwa sejarah perlu ditulis ulang dengan pendekatan khas Indonesia, dengan melibatkan berbagai perspektif akademis. "Yang kita tulis ini adalah secara umum untuk mengisi kekosongan 26 tahun kita tidak menulis sejarah," ujarnya.
Catatan untuk Perspektif Perempuan
Pernyataan dan perdebatan seputar pemerkosaan massal 1998 kembali menunjukkan betapa pentingnya pendekatan yang berpusat pada korban, terutama perempuan. Luka sejarah tidak bisa disembuhkan dengan narasi yang datar dan netral, tetapi membutuhkan pengakuan, empati, dan penghormatan terhadap pengalaman nyata para penyintas.
Bagi banyak perempuan, terutama yang pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan seksual secara langsung maupun tidak langsung, narasi ini bukan sekadar angka dan dokumen. Ia adalah kenangan kolektif yang membentuk trauma, identitas, dan perjuangan.
Ketika sejarah ditulis ulang, penting untuk memastikan bahwa suara perempuan tidak kembali terhapus, dan bahwa rekonsiliasi sejarah tidak dilakukan dengan menutup luka, tetapi dengan mengobatinya. Sebab di balik catatan sejarah yang panjang, perempuan tidak boleh hanya menjadi subjek yang diceritakan, tetapi harus menjadi pihak yang didengar dan dipercaya.
Baca Juga: Menolak Penyangkalan Kekerasan Seksual dalam Tragedi Kelam Mei 1998
(*)