Parapuan.co - Di tengah upaya perempuan untuk semakin berdaya dan mandiri, baik secara ekonomi, intelektual, maupun sosial, masih ada satu bentuk kekuasaan tak kasat mata yang sering mengganggu langkah mereka: mansplaining. Meski terdengar sepele, perilaku ini bisa melemahkan kepercayaan diri perempuan, bahkan ketika mereka adalah ahli di bidangnya.
Apa itu mansplaining dan mengapa bisa berpengaruh terhadap keberdayaan dan kemandirian perempuan? Simak informasi yang dirangkum dari Psychology Today berikut ini!
Apa Itu Mansplaining?
Mansplaining adalah gabungan dari kata man (laki-laki) dan explaining (menjelaskan). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seorang laki-laki menjelaskan sesuatu kepada perempuan dengan nada merendahkan, seolah-olah perempuan tersebut tidak memahami topik itu—padahal bisa jadi ia justru lebih paham.
Mansplaining bukan sekadar menjelaskan, tapi menyampaikan dengan nada menggurui dan meremehkan. Bahkan ketika seorang perempuan telah menyatakan keahliannya dalam suatu bidang, sering kali ia tetap dianggap perlu “dijelaskan ulang” oleh laki-laki yang merasa lebih tahu. Ini bukan soal niat semata, tetapi soal bias sosial dan relasi kuasa yang telah mengakar lama.
Contoh sederhana dari mansplaining ketika kamu menjalin hubungan, misalnya:
Situasi 1: Kamu (perempuan) sedang bercerita pada pasangannya tentang pengalaman kerjanya di bidang pemasaran digital. Ia menjelaskan bahwa algoritma media sosial berubah sehingga strategi konten yang biasa ia pakai perlu disesuaikan.
Respons pasangannya (laki-laki): "Kamu tahu nggak, algoritma itu sebenarnya kayak mesin pencari, jadi kamu tinggal pasang kata kunci yang bagus. Kayaknya kamu belum ngerti dasar-dasarnya deh."
Padahal, si perempuan sudah bekerja di bidang itu selama 5 tahun dan bahkan sedang mengelola tim.
Baca Juga: Perempuan Mandiri akan Bertemu Calon Mertua? Tunjukkan 6 Sikap Ini
Kenapa Ini Termasuk Mansplaining?
- Pasangan laki-laki mengabaikan keahlian pasangannya.
- Ia menjelaskan hal yang sudah jelas bagi si perempuan, seolah-olah ia tidak paham.
- Nada dan isi penjelasannya bersifat merendahkan dan menggurui, tanpa bertanya dulu seberapa jauh pemahaman si perempuan.
Situasi 2: Pasangan mau mengajakmu bertemu dengan orang tuanya, tetapi meminta dan mengatur bagaimana caramu berpakaian, berbicara, mengajarkanmu menjawab pertanyaan jika ditanya tentang topik-topik tertentu, dan sebagainya.
Ini bisa termasuk mansplaining karena ia tidak menghargaimu sebagai individu dan hanya ingin terlihat baik di depan keluarganya jika kamu hadir sesuai keinginannya. Mestinya, pasangan yang tepat tidak melakukan itu karena percaya kamu bisa menempatkan diri ketika diajak bertemu keluarganya.
Dampak pada Keberdayaan Perempuan
Perempuan yang mengalami mansplaining terus-menerus berisiko kehilangan rasa percaya dirinya. Penjelasan yang merendahkan ini bisa membuat perempuan merasa perlu mempertanyakan kemampuan dirinya sendiri, atau enggan lagi bersuara dalam diskusi penting.
Mansplaining juga memperkuat stereotip bahwa laki-laki lebih cakap atau layak didengarkan dibanding perempuan. Akibatnya, kontribusi perempuan dalam ruang publik maupun profesional sering kali diabaikan atau diremehkan.
Mansplaining Bisa Terjadi di Mana Saja
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang kerja atau akademik. Dalam lingkup keluarga, komunitas, bahkan percakapan santai, perempuan sering menghadapi interupsi, koreksi sepihak, atau dijelaskan sesuatu yang mereka sudah pahami. Dalam banyak kasus, laki-laki yang melakukannya tidak sadar bahwa mereka sedang merendahkan.
Ironisnya, ketika perempuan mencoba menanggapi perilaku tersebut, mereka justru kerap dianggap “sensitif” atau “berlebihan”. Ini mencerminkan bagaimana seksisme halus masih melekat dalam interaksi sehari-hari.
Baca Juga: Perempuan Berdaya Disebut Bisa Jalin Hubungan Romantis yang Lebih 'Sehat', Kenapa?
Tidak Hanya Dilakukan oleh Laki-Laki
Walau istilah mansplaining mengacu pada laki-laki terhadap perempuan, penelitian menunjukkan bahwa siapa pun bisa melakukannya, tergantung pada posisi sosial dan dinamika kekuasaan. Artinya, perilaku meremehkan ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang merasa memiliki otoritas lebih tinggi terhadap orang lain yang dianggapnya kurang berpengetahuan.
Namun, dalam konteks gender, perempuan—terutama perempuan kulit berwarna, queer, penyandang disabilitas, atau dari kelompok marjinal lainnya—lebih rentan menjadi sasaran. Mereka menghadapi double marginalization, yaitu dianggap tak cakap karena gendernya, dan diremehkan karena identitas lainnya.
Membangun Kemandirian, Menolak Mansplaining
Mansplaining bukan hanya soal kata-kata, tapi tentang kekuasaan dan siapa yang punya ruang untuk didengar. Ketika perempuan terus-menerus dipotong, dikoreksi, atau dijelaskan sesuatu tanpa diminta, mereka tidak hanya kehilangan suara—mereka kehilangan ruang untuk berkembang.
Untuk melawan ini, kita perlu:
- Menyadari dinamika kekuasaan dalam setiap percakapan.
- Memberi ruang bagi perempuan untuk menyuarakan pendapatnya tanpa interupsi.
- Membiasakan mendengarkan, bukan hanya menjelaskan.
- Menghargai keahlian dan pengalaman perempuan, tanpa merasa harus selalu mengoreksi.
Membangun keberdayaan perempuan bukan hanya soal pemberian akses dan kesempatan, tapi juga menghapus hambatan-hambatan halus yang sering tak terlihat. Mansplaining adalah salah satu bentuk kekerasan simbolik yang perlu kita sadari dan hentikan.
Karena ketika perempuan diberi ruang untuk menyuarakan pemikirannya tanpa direndahkan, mereka bisa menunjukkan kapasitas luar biasa yang selama ini mungkin tertutupi oleh bias dan keraguan yang bukan milik mereka—melainkan ditanamkan oleh masyarakat.
Merdeka bukan berarti bebas dari perdebatan. Tapi merdeka berarti dipercaya cukup cakap untuk ikut berdiskusi—tanpa perlu dijelaskan ulang seolah tak mengerti.
Baca Juga: 3 Tantangan Perempuan Mandiri Ketika Menjalin Hubungan Asmara
(*)