Meskipun banyak pekerja muda sudah memanfaatkan AI dalam aktivitas sehari-hari seperti membuat konten, analisis data, dan manajemen proyek, mereka memandang AI lebih sebagai pelengkap, bukan pengganti soft skill.
Valerie Chapman, kreator teknologi dan AI berusia 26 tahun mengatakan, "AI memungkinkan saya memperluas jangkauan, membangun keahlian, dan memperkuat suara saya. Tapi AI melengkapi soft skill dengan indah, memungkinkan kita menyampaikan cerita dengan lebih efektif."
Namun, tidak semua sektor siap sepenuhnya mengandalkan AI. Briana Henry, insinyur senior di perusahaan energi Namaste Solar, mengungkap bahwa dalam pekerjaannya yang teknis dan sangat bergantung pada keamanan, AI justru jarang ia gunakan.
"Saya sering lupa bahwa AI itu ada," tutur Briana Henry. Ia mengkhawatirkan ketergantungan yang berlebihan terhadap AI bisa menghambat kemampuan berpikir kreatif dan mengurangi keterampilan teknis dasar.
Soft Skill sebagai Pembeda Sejati di Dunia Kerja
Menurut Sonali Karmarkar, ketika seseorang menapaki level yang lebih senior dalam karier, kemampuan teknis bukan lagi hal yang membedakan. "Semakin tinggi posisi, soft skill justru jadi penentu—untuk memotivasi tim, melatih individu, dan beradaptasi dengan tantangan yang tidak bisa dipecahkan teknologi," terangnya.
Eliana Goldstein menambahkan bahwa keterampilan teknis bisa dipelajari lewat pelatihan atau kursus, tapi soft skill jauh lebih sulit diasah. "Komunikasi itu tidak selalu bisa dipelajari. Ada yang alami, tapi bagi sebagian orang sangat menantang karena gugup atau alasan lain."
Briana Henry juga berbagi pengalamannya sebagai pemimpin tim. “Saya pernah mengambil keputusan dalam rekrutmen dan tindakan disipliner, dan saya melihat berulang kali bahwa mereka yang punya soft skill berkembang, dan yang bermasalah seringkali justru kekurangan soft skill," katanya.
Human Touch di Tengah Ledakan Teknologi