Parapuan.co - Di tengah perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya generative AI, para pekerja muda dari generasi Z dan milenial justru semakin menaruh perhatian pada soft skill sebagai kunci utama kesuksesan karier.
Melansir Harper's Bazaar, survei global dari Deloitte yang melibatkan lebih dari 23.000 responden mengungkap bahwa lebih dari 80% generasi muda menganggap empati, komunikasi, dan kepemimpinan jauh lebih penting dibandingkan keterampilan teknis murni, bahkan termasuk penggunaan AI.
Sentuhan Manusia di Era Kecerdasan Buatan
Menurut Elizabeth Faber, Chief People and Purpose Officer Global Deloitte, di tengah maraknya penggunaan GenAI, elemen manusia justru menjadi pembeda utama. "Soft skill adalah jembatan antara manusia dan mesin, membantu individu menavigasi masalah kompleks, bekerja sama dalam tim yang beragam, dan memimpin secara autentik dalam lingkungan yang dinamis," ujarnya.
Pernyataan Elizabeth Faber ini diamini oleh Sonali Karmarkar, kepala konten dan komunitas YouTube Shopping. Ia menilai bahwa soft skill adalah kemampuan yang tak mudah diajarkan, namun sangat penting. "Soft skill itu tidak bisa ditiru; sulit diajarkan, tapi sangat krusial dalam dunia profesional," katanya.
Ketakutan Terhadap AI dan Cara Mengubahnya Jadi Peluang
Pelatih karier asal New York, Eliana Goldstein, menjelaskan bahwa banyak orang merasa takut digantikan oleh AI. "Ada kekhawatiran besar tentang kapan AI akan menggantikan pekerjaan mereka, dan apa yang harus mereka lakukan," ungkap Eliana.
Namun, ia juga menegaskan pentingnya mengubah ketakutan itu menjadi semangat. "Begitu kita menanamkan benih itu, banyak orang mulai merasa ini adalah peluang luar biasa," ucapnya lagi.
AI Sebagai Alat, Bukan Pengganti
Baca Juga: 20+ Tools AI untuk Meningkatkan Peluang Mendapatkan Pekerjaan Remote
Meskipun banyak pekerja muda sudah memanfaatkan AI dalam aktivitas sehari-hari seperti membuat konten, analisis data, dan manajemen proyek, mereka memandang AI lebih sebagai pelengkap, bukan pengganti soft skill.
Valerie Chapman, kreator teknologi dan AI berusia 26 tahun mengatakan, "AI memungkinkan saya memperluas jangkauan, membangun keahlian, dan memperkuat suara saya. Tapi AI melengkapi soft skill dengan indah, memungkinkan kita menyampaikan cerita dengan lebih efektif."
Namun, tidak semua sektor siap sepenuhnya mengandalkan AI. Briana Henry, insinyur senior di perusahaan energi Namaste Solar, mengungkap bahwa dalam pekerjaannya yang teknis dan sangat bergantung pada keamanan, AI justru jarang ia gunakan.
"Saya sering lupa bahwa AI itu ada," tutur Briana Henry. Ia mengkhawatirkan ketergantungan yang berlebihan terhadap AI bisa menghambat kemampuan berpikir kreatif dan mengurangi keterampilan teknis dasar.
Soft Skill sebagai Pembeda Sejati di Dunia Kerja
Menurut Sonali Karmarkar, ketika seseorang menapaki level yang lebih senior dalam karier, kemampuan teknis bukan lagi hal yang membedakan. "Semakin tinggi posisi, soft skill justru jadi penentu—untuk memotivasi tim, melatih individu, dan beradaptasi dengan tantangan yang tidak bisa dipecahkan teknologi," terangnya.
Eliana Goldstein menambahkan bahwa keterampilan teknis bisa dipelajari lewat pelatihan atau kursus, tapi soft skill jauh lebih sulit diasah. "Komunikasi itu tidak selalu bisa dipelajari. Ada yang alami, tapi bagi sebagian orang sangat menantang karena gugup atau alasan lain."
Briana Henry juga berbagi pengalamannya sebagai pemimpin tim. “Saya pernah mengambil keputusan dalam rekrutmen dan tindakan disipliner, dan saya melihat berulang kali bahwa mereka yang punya soft skill berkembang, dan yang bermasalah seringkali justru kekurangan soft skill," katanya.
Human Touch di Tengah Ledakan Teknologi
Baca Juga: 5 Cara Cerdas agar AI Tidak Mengambil Alih Pekerjaanmu, Apa Saja?
Valerie Chapman menekankan pentingnya koneksi manusia yang tulus, terutama ketika dunia digital dibanjiri konten buatan AI. "Soft skill seperti bercerita, empati, dan komunikasi adalah inti dari bagaimana kita terhubung dengan teknologi,” jelasnya.
Hal ini sangat berharga, terutama bagi kelompok yang sebelumnya kurang terwakili, seperti perempuan. Namun, pengembangan soft skill masih sering dianggap pelengkap yang tidak wajib.
"Pelatihan soft skill sering dipandang sebagai bonus, bukan kewajiban," ungkap Sonali Karmarkar. Ia mendorong agar perusahaan memasukkan modul soft skill sebagai bagian dari pelatihan utama, agar pekerja siap berkolaborasi dan memimpin.
Eliana Goldstein menyebut bahwa perhatian perusahaan terhadap soft skill sangat bergantung pada pemimpinnya. "Kalau pemimpinnya peduli, itu akan menyebar ke seluruh organisasi. Kalau tidak, ya tidak akan berkembang," tukasnya.
Ia yakin investasi pada soft skill bukan hanya membuat perusahaan lebih sukses, tapi juga meningkatkan retensi karyawan.
Menumbuhkan Soft Skill di Dunia Serba Digital
Briana Henry sendiri merasa beruntung karena perusahaannya mendorong kepemilikan bersama dan kolaborasi, yang membuatnya berkembang dalam komunikasi dan kepemimpinan. “Menjadi co-owner membantu saya dalam kerja tim, pemecahan masalah, hingga pengambilan keputusan,” katanya.
Sementara itu, Valerie Chapman membangun soft skill-nya melalui kehadiran digital. “Saya mengembangkan soft skill dengan membagikan perjalanan saya di media sosial. Ini meningkatkan kepercayaan diri, keterampilan komunikasi, dan memperluas jaringan saya secara signifikan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tanpa pelatihan yang tepat, AI justru bisa memicu rasa takut alih-alih memberdayakan pekerja.
Baca Juga: Prediksi Ahli Soal Kemajuan AI di Dunia Kerja, Bagaimana Peran Manusia Diganti?
Masa Depan Tetap Berpusat pada Manusia
Pesan dari Gen Z dan milenial jelas, bahwasanya meskipun AI mengubah lanskap teknis, kualitas manusiawi seperti empati, kepemimpinan, dan komunikasi tetap jadi kunci.
Sonali Karmarkar menyimpulkan dengan lugas, “Soft skill-lah yang membedakan kandidat. Mereka membuat teknologi bisa dimanfaatkan secara maksimal, menyelaraskan informasi ke visi jangka panjang, dan menyampaikannya secara efektif ke audiens yang dituju.”
Pada akhirnya, menguasai AI memang penting, tetapi sentuhan manusia tetap menjadi penentu utama kesuksesan karier.
(*)