Parapuan.co - Usulan agar pemerintah daerah menyelenggarakan kompetisi bela diri sebagai solusi mencegah tawuran pelajar baru-baru ini mencuat di ruang publik. Ide ini disampaikan oleh Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, Sumanto, dalam konferensi pers di Semarang pada Senin (9/6/2025) lalu. Ia menilai, kegiatan positif seperti turnamen bela diri dapat menjadi wadah penyaluran energi remaja yang kerap meluap-luap.
"Pelaku tawuran juga kerap menggunakan senjata tajam, sehingga tak jarang menimbulkan korban luka atau meninggal dunia. Pemerintah perlu menggelar berbagai kegiatan positif guna menyalurkan energi anak muda yang meluap-luap," ujar Sumanto, dikutip dari Kompas.com.
Ia juga menyebut bahwa Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Jateng dapat mengambil peran dalam menyelenggarakan turnamen tersebut sebagai bentuk pencegahan. Namun, apakah benar kompetisi bela diri bisa menjadi solusi jitu untuk menekan angka tawuran?
Tak Sepenuhnya Tepat, Bisa Picu Agresi
Dosen Psikologi UNISA Yogyakarta, Ratna Yunita Setiani Subardjo, menilai bahwa usulan tersebut memiliki sisi positif, tetapi bukan merupakan solusi tunggal yang menyasar akar masalah sebenarnya.
"Mungkin tidak sepenuhnya tepat. Kompetisi bela diri dapat memiliki manfaat positif seperti meningkatkan keterampilan fisik dan mental, namun juga dapat memicu perilaku agresif jika tidak dikelola dengan baik," jelas Ratna saat dihubungi Kompas.com, Selasa (10/6/2025) kemarin.
Menurutnya, tawuran di kalangan remaja tidak semata-mata soal kurangnya aktivitas, tetapi berkaitan dengan masalah yang lebih mendalam, baik dari aspek internal maupun eksternal.
Remaja di Tengah Krisis Identitas dan Tekanan Sosial
Ratna menjelaskan bahwa secara internal, banyak remaja mengalami krisis identitas dan kesulitan dalam menemukan nilai-nilai positif yang bisa mereka jadikan pegangan.
Baca Juga: Kenakalan Remaja dan Kiat Mengatasinya, Menimbang Wacana Barak Militer ala Gubernur Jabar
"Remaja mencari identitas diri dan nilai-nilai positif, namun jika tidak berhasil, dapat berakibat buruk pada penyimpangan norma," kata Ratna.
Dari sisi biologis, perubahan hormon yang terjadi pada masa remaja juga dapat membuat mereka lebih impulsif, mudah marah, dan frustasi. Jika tidak dibekali dengan kemampuan pengendalian diri, remaja menjadi lebih rentan untuk melakukan kekerasan.
Faktor eksternal pun tak kalah penting. Ketidakhadiran perhatian dan kasih sayang dari orangtua bisa membuat anak merasa tidak dihargai. Dalam situasi seperti itu, mereka kerap mencari validasi di luar rumah.
"Pada pergaulan, remaja cenderung akan terpengaruh oleh teman sebaya dan ingin menyesuaikan diri dengan kelompoknya," jelas Ratna. Bahkan, rasa gengsi dan keinginan menunjukkan kekuatan, terutama pada remaja laki-laki, menjadi pemicu munculnya kekerasan sebagai bentuk pembuktian diri.
Solusi Komprehensif yang Perlu Dipertimbangkan
Daripada hanya mengandalkan satu jenis kegiatan, seperti kompetisi bela diri, Ratna menyarankan pendekatan yang lebih menyeluruh dan bersifat preventif.
- Pendidikan karakter sejak dini
Remaja perlu mendapatkan pendidikan karakter yang menekankan pada toleransi, empati, dan penyelesaian konflik secara damai.
- Keterlibatan aktif orangtua
"Orangtua harus terlibat aktif dalam kehidupan anak-anak mereka dan memberikan pengawasan yang baik," tegas Ratna. Orangtua menjadi pondasi penting dalam pembentukan kepribadian anak.
- Menyediakan kegiatan ekstrakurikuler positif
Sekolah juga perlu menyediakan berbagai kegiatan positif yang mampu menyalurkan energi dan bakat remaja ke arah yang produktif.
- Sinergi antara masyarakat dan pemerintah
Lingkungan yang aman dan sehat harus menjadi tanggung jawab bersama. Ratna menggarisbawahi pentingnya pengawasan dari masyarakat dan peran aktif pemerintah dalam menciptakan ruang aman bagi tumbuh kembang remaja.
Baca Juga: Perilaku Remaja di Luar Kendali? Ini Solusi Efektif untuk Orang Tua
(*)