Mengapa Kasus Pencabulan Anak Tak Kunjung Surut Meski UU Perlindungan Anak Sudah Ada?

Arintha Widya - Rabu, 4 Juni 2025
Ada UU Perlindungan Anak, cukupkah melindungi anak-anak dari kekerasan seksual?
Ada UU Perlindungan Anak, cukupkah melindungi anak-anak dari kekerasan seksual? iStockphoto

 

Parapuan.co - Kasus pencabulan anak kembali mencoreng kemanusiaan kita. Kali ini, belasan anak di bawah umur di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh lima pelaku berbeda dalam kurun dua bulan terakhir. Ironisnya, para pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat korban—seorang pengajar pesantren, ayah kandung, tetangga, hingga ayah tiri.

Menurut keterangan Kapolres Tulungagung AKBP Muhammad Taat Resdi pada Selasa (3/6/2025) seperti melansir Kompas.com, terdapat 19 anak yang menjadi korban dalam lima kasus pencabulan yang tidak saling berkaitan. "Lima orang tersangka semuanya laki-laki, dan menjalani proses hukum," tegas Taat Resdi.

Resdi menambahkan, "Saat ini ada empat tersangka yang masih ditahan di Mapolres Tulungagung guna proses penyelidikan, dan satu tersangka kasusnya sudah dilimpahkan."

Misalnya, tersangka AI (25), seorang pengajar di pondok pesantren Kecamatan Ngunut, mencabuli sembilan santri laki-laki berusia 8–12 tahun. Ada juga tersangka IR (44) yang diduga telah menyetubuhi anak kandungnya sendiri sejak tahun 2019.

Lima tersangka tersebut dijerat dengan Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2014 yang diubah dengan UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman pidananya bukan main, penjara paling singkat lima tahun, paling lama 15 tahun, serta denda hingga Rp5 miliar. Namun pertanyaannya, mengapa kasus-kasus seperti ini tetap saja terjadi?

Undang-Undang Bukan Solusi Satu-satunya

Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak memang menjadi tonggak penting dalam perlindungan hukum terhadap anak. Namun, regulasi sekeras apapun tidak akan efektif jika tidak diiringi dengan kesadaran, pengawasan, dan upaya pencegahan yang nyata dari seluruh lapisan masyarakat.

Dalam kasus di Tulungagung, hampir semua pelaku adalah orang-orang yang dipercaya oleh korban dan lingkungan mereka. Ini menunjukkan bahwa pelindung terdekat justru bisa menjadi pemangsa yang paling berbahaya. Artinya, setiap kita harus waspada pada siapa saja yang dekat dengan putra-putri tercinta.

Budaya Tutup Mata dan Lemahnya Edukasi

Baca Juga: KemenPPPA Kawal Dugaan Kasus Pelecehan Seksual oleh Guru Mengaji di Sulsel

Salah satu penyebab utama berulangnya kasus pencabulan anak adalah budaya "tutup mata" masyarakat terhadap tanda-tanda kekerasan seksual. Banyak korban tidak berani bersuara karena takut, malu, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban.

Kurangnya edukasi seksual yang ramah anak di sekolah maupun keluarga juga memperparah keadaan. Anak-anak tidak dibekali pengetahuan dasar untuk mengenali dan melaporkan tindakan pelecehan yang mereka alami.

Tugas kita sebagai orang tua adalah mengedukasi. Memberi pemahaman pada anak tentang batasan dalam bergaul, kontak fisik (sentuhan yang boleh dan tidak boleh di bagian tubuh anak), dan mengajarkan mereka agar berani menolak atau meminta bantuan (dengan berteriak atau memanggil orang lain yang dipercaya) jika batasan tersebut dilanggar.

Rehabilitasi Korban Sering Terlupakan

Penegakan hukum memang penting, namun, kita juga tidak boleh melupakan bahwa anak-anak korban kekerasan seksual akan membawa luka psikologis sepanjang hidup mereka. Sayangnya, negara belum sepenuhnya hadir dalam proses pemulihan ini. Layanan psikologis untuk korban sering tidak tersedia, apalagi di daerah-daerah yang minim fasilitas kesehatan mental.

Masyarakat Harus Lebih Terlibat

Pencegahan kekerasan seksual pada anak harus dimulai dari lingkungan terkecil: keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat sekitar. Orang dewasa harus lebih peka terhadap perubahan perilaku anak, membuka ruang aman untuk mereka bercerita, dan tidak ragu melaporkan jika ada tanda-tanda kekerasan.

Masyarakat juga perlu menekan institusi untuk membangun sistem pengawasan yang kuat, terutama di lembaga pendidikan dan tempat pengasuhan anak. Jangan diam!

UU Perlindungan Anak memang penting, tapi tidak bisa bekerja sendiri. Undang-undang hanyalah alat. Tanpa kesadaran kolektif, budaya yang berpihak pada korban, dan edukasi seksual yang layak, kasus seperti yang terjadi di Tulungagung akan terus terulang.

Kita tidak hanya butuh hukum yang tegas, tetapi juga bangsa yang peduli dan berani bersuara.

Baca Juga: Pelecehan Anak Oleh Oknum Polisi, Ke Mana Cari Perlindungan Jika Ruang Aman Menyesatkan?

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya