Asap Merah Muda di Langit Roma dan Kenyataan Mengapa Tak Pernah Ada Paus Perempuan

Arintha Widya - Jumat, 9 Mei 2025
Asap merah muda mengepul di depan Kubah Santo Petrus selama aksi protes oleh Konferensi Penahbisan Perempuan di Roma pada Rabu (7/5/2025), atau bertepatan dengan penyelenggaraan Konklaf.
Asap merah muda mengepul di depan Kubah Santo Petrus selama aksi protes oleh Konferensi Penahbisan Perempuan di Roma pada Rabu (7/5/2025), atau bertepatan dengan penyelenggaraan Konklaf. AP via The Manila Times

Parapuan.co - Roma kembali menjadi sorotan dunia ketika Konklaf untuk memilih pemimpin baru Gereja Katolik digelar pada Rabu (7/5/2025), menyusul wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025. Sebanyak 133 Kardinal berkumpul secara tertutup di Kapel Sistina, Vatikan, dalam proses pemungutan suara yang diwarnai simbol asap.

Apabila asap yang muncul berwarna hitam, artinya belum ada Paus baru yang terpilih. Sementara asap warna putih berarti telah ada sosok yang terpilih. Namun, saat Konklaf berlangsung Rabu lalu, publik dibuat terkejut dengan kemunculan asap merah muda yang membumbung di langit Roma, sesuatu yang tidak lazim dalam tradisi Konklaf.

Asap merah muda yang sempat membingungkan banyak pihak itu ternyata bukan berasal dari cerobong Kapel Sistina. Faktanya, asap tersebut berasal dari suar yang dinyalakan oleh sekelompok aktivis perempuan Katolik di sebuah bukit yang menghadap ke kubah Basilika Santo Petrus.

Apa yang Ingin Disampaikan Aktivis Perempuan Katolik?

Melansir berbagai sumber dirangkum dari Kompas.com, aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan sebuah seruan keras agar suara perempuan didengar dalam proses pemilihan Paus, sekaligus menyoroti kenyataan pahit bahwa selama dua ribu tahun sejarah Gereja Katolik, belum pernah ada seorang perempuan yang menjabat sebagai Paus.

Miriam Duignan, aktivis dari Institut Wijngaards di Cambridge, secara gamblang menyoroti ketimpangan ini. "Kami ingin menyampaikan kepada para Kardinal, Anda tidak bisa terus mengabaikan 50 persen populasi Katolik, Anda tidak bisa masuk ke ruang terkunci dan mendiskusikan masa depan Gereja tanpa separuh dari Gereja," tegasnya.

Miriam menambahkan, "Siapa pun yang mereka pilih menjadi Paus baru harus cukup berani untuk menangani masalah inklusi perempuan dengan baik, karena sejauh ini belum, bahkan oleh Paus Fransiskus."

Aksi protes ini sejatinya bukan hal baru. Duignan sendiri pernah ditahan pada 2011 ketika mencoba memasuki Vatikan untuk menyampaikan petisi dukungan terhadap seorang Pastor yang berpihak pada perjuangan aktivis perempuan.

Miriam Duignan juga menuturkan, "Setiap kali kami pergi ke Lapangan Santo Petrus, kami ditahan oleh polisi, dan kami tentu saja tidak diundang untuk masuk ke dalam Konklaf."

Baca Juga: Paus Fransiskus Bakal ke Indonesia dalam Rangkaian Kunjungan Wilayah Asia Pasifik

Menurutnya, selama Konklaf berlangsung, "Satu-satunya perempuan yang akan dilihat oleh 133 pria itu dalam beberapa hari ke depan adalah para biarawati yang membersihkan kamar mereka dan menyajikan makanan."

Ketidaksetaraan gender dalam Gereja Katolik bukan sekadar soal representasi dalam Konklaf. Lebih dalam dari itu, akar permasalahannya terletak pada aturan yang mengatur siapa yang boleh menjadi imam dan pada akhirnya, Paus.

Mengapa Tidak Pernah Ada Paus Perempuan?

Berdasarkan Hukum Kanon (Kanon 1024), hanya laki-laki yang telah dibaptis yang dapat ditahbiskan menjadi pelayan suci. Seperti diberitakan Times of India (8/5/2025), jabatan Paus mensyaratkan seseorang adalah laki-laki, telah dibaptis, dan ditahbiskan sebagai imam.

Karena Gereja Katolik tidak memberikan pentahbisan imamat kepada perempuan, maka secara otomatis, perempuan juga tidak bisa menjadi Paus. Landasan teologis dari pembatasan ini merujuk pada tradisi panjang Gereja.

Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa Yesus Kristus memilih 12 rasul laki-laki, yang kemudian melanjutkan pelayanan mereka dengan memilih laki-laki lainnya. Tradisi ini dipandang sebagai sesuatu yang mengikat dan harus dilestarikan.

Sejarah mencatat, Paus Callixtus III (terpilih 1455) adalah Paus terakhir yang bukan imam, sedangkan Urbanus VI (terpilih 1378) adalah imam terakhir yang bukan Kardinal ketika diangkat menjadi Paus.

Kendati demikian, di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus sejak 2013, beberapa langkah kecil untuk membuka ruang bagi perempuan diambil. Ia mengangkat perempuan untuk menduduki jabatan penting dalam struktur birokrasi Vatikan, termasuk menunjuk perempuan pertama sebagai pemimpin dalam pemerintahan Vatikan. Bagi sebagian kalangan, ini dianggap kemajuan besar dalam institusi yang sangat konservatif. Namun, banyak pihak menilai langkah itu belum cukup.

Miriam Duignan mengkritik, "Ya, Paus Fransiskus mengangkat dan mempromosikan beberapa wanita ke dalam peran yang bertanggung jawab, tetapi mereka selalu lebih rendah dalam status dan otoritas daripada pria. Bahkan imam termuda di ruangan itu adalah atasan dari wanita tertua yang lebih berpengalaman."

Baca Juga: Pesan Toleransi Paus Fransiskus, Menyatukan Keberagaman di Indonesia

Pada Oktober 2024, Paus Fransiskus bahkan menyetujui sebuah kelompok kerja untuk mengkaji kemungkinan mengizinkan perempuan menjadi diakon — satu tingkat di bawah imam. Laporan yang dihasilkan menyebutkan bahwa "pertanyaan tentang akses perempuan ke pelayanan diakon tetap terbuka", tetapi disimpulkan bahwa masih terlalu dini untuk membuat keputusan.

Di tengah situasi Konklaf 2025 ini, harapan kaum perempuan tetap menyala meskipun tak sedikit yang skeptis. Kate McElwee, Direktur Eksekutif Women’s Ordination Conference, menegaskan, "Sementara dunia mungkin menunggu asap putih atau asap hitam, kami mengirimkan asap merah muda sebagai harapan kami bahwa suatu hari nanti Gereja dapat menyambut perempuan sebagai orang yang setara."

Ia pun menambahkan dengan nada waspada, "Ada kekhawatiran bahwa pemilihan Paus berikutnya merupakan langkah mundur, padahal ada harapan kuat agar upaya menuju inklusi perempuan terus berlanjut."

Aktivis Prancis, Gabrielle Fidelin, bahkan menyebut pengecualian perempuan dari imamat dan Konklaf sebagai sebuah dosa dan skandal. Sementara Duignan mengungkapkan bahwa saat ini hanya satu dari 133 Kardinal yang diketahui mengambil sikap positif terhadap penahbisan perempuan, namun ia enggan menyebut namanya karena risiko pengucilan.

Aksi asap merah muda di Roma pada 7 Mei 2025 sejatinya bukan hanya simbol protes terhadap ketidaksetaraan dalam Gereja, tetapi juga penanda bahwa perdebatan tentang peran perempuan dalam Gereja Katolik jauh dari usai.

Meski diwarnai protes, pemilihan Paus tetap berlangsung dan kini telah terpilih Imam baru umat Katolik seluruh dunia.

Sosok bernama Robert Francis Prevost (Paus Leo XIV) terpilih menjadi paus baru setelah pemungutan suara di konklaf pada Kamis (8/5/2025) sore waktu Vatikan.

Baca Juga: Peduli Isu Terkait Perempuan, Paus Fransiskus Pernah Mengimbau Tentang Ini

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya