Baca Juga: Pesan Toleransi Paus Fransiskus, Menyatukan Keberagaman di Indonesia
Pada Oktober 2024, Paus Fransiskus bahkan menyetujui sebuah kelompok kerja untuk mengkaji kemungkinan mengizinkan perempuan menjadi diakon — satu tingkat di bawah imam. Laporan yang dihasilkan menyebutkan bahwa "pertanyaan tentang akses perempuan ke pelayanan diakon tetap terbuka", tetapi disimpulkan bahwa masih terlalu dini untuk membuat keputusan.
Di tengah situasi Konklaf 2025 ini, harapan kaum perempuan tetap menyala meskipun tak sedikit yang skeptis. Kate McElwee, Direktur Eksekutif Women’s Ordination Conference, menegaskan, "Sementara dunia mungkin menunggu asap putih atau asap hitam, kami mengirimkan asap merah muda sebagai harapan kami bahwa suatu hari nanti Gereja dapat menyambut perempuan sebagai orang yang setara."
Ia pun menambahkan dengan nada waspada, "Ada kekhawatiran bahwa pemilihan Paus berikutnya merupakan langkah mundur, padahal ada harapan kuat agar upaya menuju inklusi perempuan terus berlanjut."
Aktivis Prancis, Gabrielle Fidelin, bahkan menyebut pengecualian perempuan dari imamat dan Konklaf sebagai sebuah dosa dan skandal. Sementara Duignan mengungkapkan bahwa saat ini hanya satu dari 133 Kardinal yang diketahui mengambil sikap positif terhadap penahbisan perempuan, namun ia enggan menyebut namanya karena risiko pengucilan.
Aksi asap merah muda di Roma pada 7 Mei 2025 sejatinya bukan hanya simbol protes terhadap ketidaksetaraan dalam Gereja, tetapi juga penanda bahwa perdebatan tentang peran perempuan dalam Gereja Katolik jauh dari usai.
Meski diwarnai protes, pemilihan Paus tetap berlangsung dan kini telah terpilih Imam baru umat Katolik seluruh dunia.
Sosok bernama Robert Francis Prevost (Paus Leo XIV) terpilih menjadi paus baru setelah pemungutan suara di konklaf pada Kamis (8/5/2025) sore waktu Vatikan.
Baca Juga: Peduli Isu Terkait Perempuan, Paus Fransiskus Pernah Mengimbau Tentang Ini
(*)