Viral di Kalangan Gen Alpha, Meme Anomali Bisa Picu Brain Rot pada Anak

Tim Parapuan - Selasa, 13 Mei 2025
Anak-anak gen Alpha bermain gadget
Anak-anak gen Alpha bermain gadget Freelance


Parapuan.co - Sebagai seorang ibu di era digital, kini kamu hidup di tengah arus informasi yang deras dan cepat. Anak-anak yang termasuk dalam Generasi Alpha tidak hanya tumbuh dengan gawai di tangan mereka, tetapi juga menyerap budaya internet yang kerap membingungkan dan sulit dimengerti.

Salah satu fenomena terbaru yang menyita perhatian adalah kemunculan tren-tren seperti anomali ballerina cappucina atau tung tung tung sahur, hingga istilah seperti Italian brain rot. Macam-macam anomali ini gencar muncul dalam media sosial saat ini.

Fenomena ini dikenal luas sebagai bagian dari tren anomali digital. Kata anomali merujuk pada sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan atau logika umum, yang dalam konteks ini menggambarkan konten-konten aneh, tidak masuk akal, dan sering kali lepas dari konteks logis.

Fenomena Italian brain rot sendiri merupakan bagian dari tren ini. Mengutip nytimes.comistilah ini mengacu pada meme viral yang menampilkan karakter-karakter absurd dengan nama-nama yang meniru aksen Italia, seperti "Ballerina Cappucina" dan "Bombardiro Crocodilo".

Karakter-karakter ini sering kali merupakan hasil dari kecerdasan buatan (AI) yang menghasilkan gambar dan suara yang tidak masuk akal namun menarik perhatian. Ini adalah bentuk humor baru yang berkembang terutama di platform seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels.

Anomali Tung Tung Sahur dari Indonesia yang viral di media sosial
Anomali Tung Tung Sahur dari Indonesia yang viral di media sosial Tiktok @noxaasht

Sebagai ibu, Kawan Puan mungkin bertanya-tanya, apa yang lucu dari seseorang yang menari sambil berkata "ballerina cappucina" dengan aksen Italia palsu? Mengapa anak kita bisa tertawa selama lima menit hanya karena mendengar suara "tung tung tung sahur" disisipkan di tengah video hewan peliharaan?

Generasi Alpha, anak-anak yang lahir setelah 2013, adalah generasi pertama yang benar-benar lahir di tengah revolusi digital. Mereka tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi membentuk budaya digital secara aktif. Mereka melihat dunia melalui layar, dan bagi mereka, realitas bisa seaneh dan secepat konten yang mereka konsumsi.

Menurut jurnal Children & Society tahun 2021, hal ini dikenal sebagai absurdist humor. Humor absurd menjadi bentuk ekspresi yang sangat populer karena mengusung elemen kejutan, ketidaklogisan, dan keterputusan konteks yang menyenangkan secara kognitif.

Baca Juga: Mengenal Istilah Baru Pola Asuh Fafo Parenting, Akankah Jadi Tren?

 

Humor absurd digunakan anak-anak untuk menantang otoritas dan membentuk identitas sosial mereka, terutama di lingkungan sekolah. Ini menunjukkan bahwa humor tidak selalu harus masuk akal untuk menjadi fungsional secara sosial.

Namun, di balik tawa tersebut, ada kekhawatiran yang muncul. Apa dampaknya bagi perkembangan anak?

Melansir dari nytimes.com, istilah brain rot muncul sebagai respons kritis terhadap konsumsi konten yang terlalu intens dan tidak bermakna. Brain rot secara harfiah berarti otak membusuk, tetapi dalam konteks ini, itu merujuk pada penurunan kualitas berpikir akibat terlalu lama terpapar konten digital yang tidak menstimulasi secara positif.

Konten seperti ini sangat mudah dikonsumsi, cepat, dan adiktif. Anak bisa menghabiskan waktu berjam-jam scroll TikTok tanpa sadar.

Tidak ada narasi panjang atau pemikiran mendalam yang dibutuhkan, cukup visual lucu yang membuat tertawa, lanjut. Hal ini membentuk pola pikir instan dan menurunkan toleransi terhadap aktivitas yang menuntut konsentrasi dan logika.

Penelitian dalam jurnal Media Psychology tahun 2022 oleh Amber van der Wal, dkk, menemukan bahwa jenis humor dalam media hiburan berhubungan erat dengan perilaku agresif di kehidupan nyata, terutama pada remaja. Hal ini memperlihatkan bahwa apa yang dikonsumsi secara digital memiliki implikasi terhadap perilaku nyata.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana konsumsi konten yang mengandung humor absurd dapat memengaruhi persepsi mereka tentang realitas sosial. Di dunia digital, di mana identitas sering kali dibentuk dan dieksplorasi melalui meme atau video singkat, anak-anak bisa jadi kehilangan pemahaman yang jelas antara yang nyata dan yang dibuat-buat.

Dari sudut pandang sebagai perempuan dan ibu, ada dua tantangan besar dari hal tersebut, yaitu memahami isi dunia anak dan menjaga kualitas perkembangan mereka. Ibu atau orang tua tidak bisa serta-merta melarang atau memutus akses mereka ke dunia digital, karena di sanalah ruang sosial mereka berada. Namun, diperlukan kehadiran sebagai penyeimbang.

Baca Juga: Mengenal 11 Bahasa Gaul Gen Alpha, Apa Itu Skibidi dan Rizz?

Pendekatan terbaik bukanlah pengawasan berlebihan atau larangan, melainkan komunikasi terbuka. Ajak anak berdialog, seperti, "Kamu lihat video apa hari ini?" atau "Kenapa itu lucu, menurut kamu?". Dengan melakukan hal ini, kamu akan mempunyai akses masuk ke dunia mereka, sekaligus mengajari mereka berpikir kritis terhadap konten yang dikonsumsi.

Sebagai ibu, kita juga bisa mengajak anak-anak untuk menciptakan konten yang lebih bermakna. Misalnya, daripada hanya meniru tren absurd, dorong mereka membuat video edukatif singkat, menceritakan ulang buku cerita, atau bereksperimen dengan seni visual.

Keseimbangan juga bisa dijaga lewat waktu layar yang bijak. Terapkan aturan screen time dengan kesepakatan bersama, bukan paksaan. Misalnya, satu jam setelah belajar, atau hanya di akhir pekan. Jadikan waktu layar sebagai bagian dari rutinitas yang terstruktur, bukan pelarian tanpa arah.

Dengan memahami tren digital ini, kita bisa lebih efektif dalam memberikan pedoman dan menjelaskan mana konten yang mungkin membawa manfaat bagi perkembangan mereka, dan mana yang sebaiknya dihindari.

Fenomena anomali memang terasa asing, bahkan bodoh bagi kita yang lahir jauh sebelum era digital. Namun, bagi anak-anak gen Alpha, ini adalah bagian dari bahasa mereka. Sebagai ibu, tugas kita bukan untuk memusnahkan bahasa itu, tetapi membantu mereka menggunakannya dengan lebih bijak dan penuh makna.

Tentu saja, ada hal positif yang juga dapat dipetik dari tren ini. Humor absurd, meskipun tampak sepele, bisa menjadi bentuk pelarian yang sehat di tengah tekanan sosial dan akademik yang dialami oleh banyak anak.

Selain itu, ini adalah cara yang kreatif untuk mengekspresikan diri mereka. Namun, seperti halnya dengan semua hal, keseimbangan adalah kunci.

Dengan bimbingan yang tepat, anak-anak dapat memanfaatkan dunia digital dengan bijak, belajar untuk menilai dan mengelola konten yang mereka konsumsi, serta mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang akan berguna bagi mereka di dunia nyata.

Baca Juga: Apa Itu Smart Parenting? Pola Asuh yang Menitikberatkan Kedekatan Emosional

(*)

Celine Night

Sumber: nytimes.com,Berbagai sumber
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri