Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Toxic Masculinity Jelang Pemilu 2024, Awas Gagal Paham dan Salah Pilih

Anneila Firza Kadriyanti Minggu, 24 September 2023
Ilustrasi toxic masculinity jelang Pemilu 2024. Kurangnya sosok pemimpin atau politisi perempuan, siapa yang bela kepentingannya kita?
Ilustrasi toxic masculinity jelang Pemilu 2024. Kurangnya sosok pemimpin atau politisi perempuan, siapa yang bela kepentingannya kita? smartboy10

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.


Parapuan.co - Jelang Pemilu 2024 ini, terang-benderang sudah bahwa perebutan kekuasaan politik oleh para elit sama sekali tidak melibatkan kepentingan rakyat, apalagi kepentingan perempuan.

Drama politik yang terlihat hari ini hanya memberikan pentas pada politisi laki-laki dan meminggirkan kemunculan perempuan dalam panggung politik lokal dan nasional.

Tidak ada gunanya mendudukkan perempuan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jika pada akhirnya sang ketua tidak memiliki pengaruh terhadap lembaga yang dipimpinnya untuk merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang telah mengurangi jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan dari 30%.

Padahal dunia global tengah merayakan keberhasilan kepemimpinan perempuan yang ditunjukkan dalam kesuksesan penanggulangan pandemi Covid-19 (dibanding laki-laki, perempuan adalah pemimpin yang lebih baik saat krisis), serta terpilihnya Kamala Harris sebagai perempuan pertama dalam sejarah Amerika Serikat sebagai wakil presiden.

Lakon politik Indonesia tidak mengalami kemajuan peradaban karena masih tetap mempertunjukkan agresivitas perebutan kekuasaan antar laki-laki.

Sesekali perempuan dimunculkan, namun tidak dalam bentuk keseriusan untuk mengusung apalagi meng-endorse politisi perempuan untuk menduduki jabatan di Istana.

Drama politik Indonesia jelang Pemilu 2024 adalah, dan hanyalah, pertunjukan segerombolan laki-laki berebut kursi kekuasaan politik.

Kebutuhan Terhadap Representasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Politik

Sulit memungkiri jika memang jalan perempuan sebagai pemimpin di dunia politik sangat terjal.

Baca Juga: Tak Hanya Memilih, Sikap Ini Harus Dimiliki Perempuan saat Pemilu 2024

Bukan hanya di Indonesia, kendala juga dialami oleh banyak perempuan politisi lain di seluruh dunia. Meski demikian, upaya dan dukungan partai politik terhadap kepemimpinan perempuan juga tetap kuat.

Dukungan partai tersebut tampak dalam bentuk sokongan terhadap figur-figur pemimpin perempuan seperti Jacinda Ardern, Theresa May, bahkan menjadikan Sanna Marin sebagai perdana menteri termuda pertama di Finlandia, dan juga seluruh dunia, pada saat pelantikannya.

Konstitusi negara menjamin keikutsertaan perempuan dalam berpolitik, serta usaha untuk berkomitmen terhadap agenda global yang mendukung kesetaraan perempuan di berbagai area (termasuk dalam bidang politik dan pengambilan keputusan) lewat The Beijing Declaration and the Platform for Action 1995.

Demokrasi dan pembangunan tidak akan berjalan baik tanpa representasi perempuan yang memadai.

Oleh karenanya, keterwakilan dan kepemimpinan perempuan dalam politik sudah begitu mendesak.

Begitu banyak kebutuhan dan kepentingan perempuan yang selama ini belum diakomodasi dengan baik oleh lembaga-lembaga formal bentukan negara.

Representasi perempuan di bidang politik bukan sekedar ikhtiar untuk mengedepankan kepentingan dan kebutuhan perempuan.

Lebih dari itu, kepemimpinan perempuan telah terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan sosial, pemerataan layanan kesehatan, dan kesetaraan dalam memperoleh pendidikan (Devicienti et al, 2016).

Sebab gaya kepemimpinan perempuan kerap lebih mengutamakan inovasi, kolaborasi, dan interaktif yang menjadikan pembuatan kebijakan publik dan pengambilan keputusan oleh perempuan adalah untuk mengedepankan kepentingan bersama yang tidak bias gender.

Baca Juga: Menyambut Pemilu 2024, Mengapa Begitu Susah Memilih Perempuan?

Toxic Masculinity dalam Sistem Politik Indonesia

Kolaborasi antara political will dari partai-partai politik dan dukungan publikasi dari pemberitaan-pemberitaan media akan mampu mendongkrak popularitas dan elektabilitas kandidat politik manapun, tak terkecuali perempuan.

Siapa pun tak akan pernah menyangka bahwa pada Pemilu 2014 silam, sosok yang sangat tidak presidential look dan tidak punya back up mumpuni di panggung politik nasional, pada akhirnya bisa menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2014-2019 dan 2019-2024).

Faktor kemenangan Joko Widodo (Jokowi) kala itu salah satunya adalah keberhasilannya membuat personal branding yang mengasosiasikan dirinya seperti kalangan rakyat kebanyakan.

Didukung dengan eksposur pemberitaan media yang berlimpah, menjadikan sosoknya kala itu, sebagai media darling.

Pamornya langsung melejit dan mendapat dukungan dari beragam pihak, sehingga berhasil menjadi presiden.

Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk mempromosikan perempuan sebagai figur potensial untuk menjadi pemimpin politik di panggung nasional.

Negeri ini tak kekurangan sosok-sosok perempuan hebat yang bahkan prestasinya dan kapabilitas memimpinnya melampaui sosok-sosok politisi pria yang sedang digaungkan menduduki kursi RI 1 dan RI 2 saat ini.

Sayangnya figur perempuan-perempuan hebat tersebut dihalang oleh kuasa patriarki yang berusaha untuk memandang kehebatan perempuan sebelah mata dengan tidak memberikan panggung yang memadai bagi perempuan-perempuan tersebut untuk lebih terekspos.

Baca Juga: Harapan untuk Indonesia Mengusung Capres dan Cawapres Perempuan

Partai politik sebagai institusi utama yang memiliki otoritas untuk mencalonkan dan mempromosikan kandidatnya, tidak pernah memiliki niat serius dalam pengkaderan politisi perempuan.

Persyaratan kuota 30% perempuan lebih merupakan beban administrasi bagi partai politik agar bisa ikut pemilu.

Maka partai kerap merekrut kandidat perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota partai lelaki mereka, atau yang memiliki popularitas sebagai selebriti agar bisa turut mendongkrak popularitas partai (Cakra Wikara Indonesia, 2019).

Citra perempuan di media pun kerap ditampilkan secara seksis dan penuh stereotip.

Tak urung pemberitaan media tentang perempuan masih kerap berfokus pada peran perempuan dalam sektor domestik hingga tampilan fisiknya, ketimbang menyoroti program politik yang dibuat perempuan (di Meco, 2019).

Yang lebih menyakitkan adalah aktivitas politik di ruang virtual yang justru memojokkan dan mengintimidasi perempuan lewat serangkaian kekerasan, pelecehan, hingga penjatuhan nama baik.

Mediumnya adalah konten-konten yang berusaha mempermalukan perempuan lewat upaya body shamming atau mocking (National Democratic Institute, 2019).

Pelanggengan terhadap kuasa patriarki dalam politik ini merupakan bentuk toxic masculinity yang berupaya merendahkan martabat perempuan agar tetap melanggengkan supremasi pria sebagai penguasa dunia politik karena adanya anggapan bahwa politik hanya diperuntukkan sebagai domain laki-laki (Spierings et al, 2015).

Toxic masculinity berusaha untuk menjadikan perempuan tetap sebagai kalangan subordinat dalam kepemimpinan politik (Daddow & Hertner, 2019).

Baca Juga: Gambaran Karakter Perempuan dalam Film Kejarlah Janji Jelang Pemilu 2024

Akibatnya, stereotip terhadap politisi perempuan terus melekat sebagai kalangan yang tidak memiliki rasional, kaum emosional, dan kapabilitas untuk memimpin persoalan-persoalan tangguh seperti militer dan ekonomi (Huddy & Terkildsen, 1993).

Boikot Partai dan Politisi yang Tidak Pro Perempuan!

Jumlah pemilih perempuan pada kali ini jauh lebih banyak dibandingkan pemilih pria.

Maka dari itu, perempuan memiliki kekuatan untuk memilih representasi dan pemerintahan yang pro terhadap kepentingan perempuan dan mendukung keadilan serta kesetaraan gender.

Perempuan bisa memboikot partai politik dan juga politisi yang tidak mampu mengakomodasi kebutuhan dan keinginan perempuan dalam menciptakan ruang publik yang aman dan tidak bias gender.

Karena itu, Kawan Puan, jangan terlena oleh kharisma politik dan janji muluk yang ditawarkan partai dan kandidatnya.

Sadarlah bahwa selama ini kaum perempuan lebih sering dijadikan lumbung suara untuk menarik dukungan pada saat pencoblosan.

Bahkan “mobilisasi emak-emak” pun mengalami reduksi makna, yang kerap digunakan oleh politisi laki-laki untuk ‘mengembalikan’ posisi kaum perempuan di sekitaran area sumur, kasur, dan dapur.

Kawan Puan.. Jangan memilih caleg, calon kepala daerah, dan kandidat presiden yang tidak memperhatikan kebutuhan perempuan.

Baca Juga: Pemilu 2024 dan Identitas Politik Perempuan yang Kerap Termarjinalkan

Teliti track record para politisi tersebut, apakah mereka memiliki sejarah membela kepentingan kaum perempuan atau justru ikut melecehkan perempuan.

Jika ada kandidat perempuan yang lebih baik dibandingkan kandidat laki-laki, utamakan memilih kandidat perempuan agar representasi perempuan dalam politik juga semakin tinggi.

Sudah saatnya politik identitas keperempuanan kita munculkan untuk mendukung politisi perempuan. Agar kelak para perempuan Indonesia memiliki ambisi politik yang kuat untuk menjadi pemimpin di negeri ini. (*)