Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Toxic Masculinity Jelang Pemilu 2024, Awas Gagal Paham dan Salah Pilih

Anneila Firza Kadriyanti Minggu, 24 September 2023
Ilustrasi toxic masculinity jelang Pemilu 2024. Kurangnya sosok pemimpin atau politisi perempuan, siapa yang bela kepentingannya kita?
Ilustrasi toxic masculinity jelang Pemilu 2024. Kurangnya sosok pemimpin atau politisi perempuan, siapa yang bela kepentingannya kita? smartboy10

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Persyaratan kuota 30% perempuan lebih merupakan beban administrasi bagi partai politik agar bisa ikut pemilu.

Maka partai kerap merekrut kandidat perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota partai lelaki mereka, atau yang memiliki popularitas sebagai selebriti agar bisa turut mendongkrak popularitas partai (Cakra Wikara Indonesia, 2019).

Citra perempuan di media pun kerap ditampilkan secara seksis dan penuh stereotip.

Tak urung pemberitaan media tentang perempuan masih kerap berfokus pada peran perempuan dalam sektor domestik hingga tampilan fisiknya, ketimbang menyoroti program politik yang dibuat perempuan (di Meco, 2019).

Yang lebih menyakitkan adalah aktivitas politik di ruang virtual yang justru memojokkan dan mengintimidasi perempuan lewat serangkaian kekerasan, pelecehan, hingga penjatuhan nama baik.

Mediumnya adalah konten-konten yang berusaha mempermalukan perempuan lewat upaya body shamming atau mocking (National Democratic Institute, 2019).

Pelanggengan terhadap kuasa patriarki dalam politik ini merupakan bentuk toxic masculinity yang berupaya merendahkan martabat perempuan agar tetap melanggengkan supremasi pria sebagai penguasa dunia politik karena adanya anggapan bahwa politik hanya diperuntukkan sebagai domain laki-laki (Spierings et al, 2015).

Toxic masculinity berusaha untuk menjadikan perempuan tetap sebagai kalangan subordinat dalam kepemimpinan politik (Daddow & Hertner, 2019).

Baca Juga: Gambaran Karakter Perempuan dalam Film Kejarlah Janji Jelang Pemilu 2024

Akibatnya, stereotip terhadap politisi perempuan terus melekat sebagai kalangan yang tidak memiliki rasional, kaum emosional, dan kapabilitas untuk memimpin persoalan-persoalan tangguh seperti militer dan ekonomi (Huddy & Terkildsen, 1993).

Boikot Partai dan Politisi yang Tidak Pro Perempuan!

Jumlah pemilih perempuan pada kali ini jauh lebih banyak dibandingkan pemilih pria.

Maka dari itu, perempuan memiliki kekuatan untuk memilih representasi dan pemerintahan yang pro terhadap kepentingan perempuan dan mendukung keadilan serta kesetaraan gender.

Perempuan bisa memboikot partai politik dan juga politisi yang tidak mampu mengakomodasi kebutuhan dan keinginan perempuan dalam menciptakan ruang publik yang aman dan tidak bias gender.

Karena itu, Kawan Puan, jangan terlena oleh kharisma politik dan janji muluk yang ditawarkan partai dan kandidatnya.

Sadarlah bahwa selama ini kaum perempuan lebih sering dijadikan lumbung suara untuk menarik dukungan pada saat pencoblosan.

Bahkan “mobilisasi emak-emak” pun mengalami reduksi makna, yang kerap digunakan oleh politisi laki-laki untuk ‘mengembalikan’ posisi kaum perempuan di sekitaran area sumur, kasur, dan dapur.

Kawan Puan.. Jangan memilih caleg, calon kepala daerah, dan kandidat presiden yang tidak memperhatikan kebutuhan perempuan.

Baca Juga: Pemilu 2024 dan Identitas Politik Perempuan yang Kerap Termarjinalkan

Teliti track record para politisi tersebut, apakah mereka memiliki sejarah membela kepentingan kaum perempuan atau justru ikut melecehkan perempuan.

Jika ada kandidat perempuan yang lebih baik dibandingkan kandidat laki-laki, utamakan memilih kandidat perempuan agar representasi perempuan dalam politik juga semakin tinggi.

Sudah saatnya politik identitas keperempuanan kita munculkan untuk mendukung politisi perempuan. Agar kelak para perempuan Indonesia memiliki ambisi politik yang kuat untuk menjadi pemimpin di negeri ini. (*)