Stop Ketergantungan, Ternyata Ini Efek Samping Penggunaan Inhaler pada Pasien Asma

Maharani Kusuma Daruwati - Kamis, 11 Mei 2023
Ilustrasi seorang anak sedang menggunakan inhaler asma.
Ilustrasi seorang anak sedang menggunakan inhaler asma. Freepik

Parapuan.co - Hari Asma Sedunia diperingati setiap tanggal 5 Mei.

Ini mengingatkan kita akan terus waspada pada penyakit yang menyerang paru-paru dan menyebabkan susah napas.

Asma bisa diderita oleh siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki juga anak hingga dewasa.

Penyebab asma pun cukup beragam, mulai dari riwayat keluarga, alergi, pajanan kerja (kimia, uap, asap), rokok, kegemukan, hingga polusi udara.

Salah satu yang banyak dikenal masyarakat untuk meredakan asma adalah penggunaan inhaler.

Laporan strategi GINA (Global Initiative for Asthma) 2019-2022  menunjukkan bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara rutin, bahkan hanya dalam 1- 2 minggu, justru kurang efektif, dan menyebabkan lebih banyak peradangan pada saluran  napas, serta dapat mendorong kebiasaan buruk penggunaan secara berlebihan.

Ketika  pasien asma terlalu sering menggunakan/terlalu bergantung pada inhaler pelega SABA,  mereka berisiko tinggi mengalami serangan asma, dirawat di rumah sakit, dan dalam  beberapa kasus, kematian.

Para ahli asma percaya bahwa "paradoks asma" merupakan  faktor penting dalam tantangan penanganan asma, di mana ketergantungan yang berlebihan  terhadap inhaler pelega SABA telah dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit,  terutama karena inhaler pelega SABA telah menjadi lini pertama terapi asma selama lebih  dari 50 tahun

Beberapa data menunjukkan kondisi pasien asma di Indonesia masih membutuhkan  pengobatan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Baca Juga: Bukan Asma, Anak Zaskia Mecca Ternyata Dirawat Karena Pneumonia, Kenali Gejalanya pada Anak

Studi SABINA (SABA Use  in Asthma) menunjukkan bahwa 37% pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler pelega  jenis short-acting beta-agonist (SABA) sebanyak ≥3 kanister/tahun, di mana jumlah resep  tersebut justru dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan yang parah

Dr. Eva Susanti, S.Kp, M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak  Menular, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mengatakan, banyak pasien asma  di Indonesia yang masih mengalami serangan, yaitu sebanyak 57,5%, (Riskesdas 2018)

"Kami sepenuhnya mendukung inisiatif yang sejalan dengan tujuan pemerintah, yaitu  meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pendekatan kebiasaan hidup masyarakat.  Kampanye 'Stop Ketergantungan' merupakan langkah penting untuk meningkatkan  kesadaran masyarakat dan mempromosikan kualitas hidup yang sehat bagi para penyandang  asma.

"Kami berharap kampanye ini dapat membantu sebanyak mungkin pasien asma di  Indonesia untuk menjaga kualitas hidup yang lebih baik," jelas Dr. Eva, dalam talk show "Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma", Rabu (10/5/2023). 

Dr. H. Mohamad Yanuar Fajar, Sp.P, FISR, FAPSR, MARS, Dokter Spesialis Paru dari  Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyatakan, pasien asma di Indonesia cenderung  menggunakan inhaler pelega SABA dibandingkan dengan inhaler dengan kandungan ICS  (Anti-inflamasi melalui inhaler) karena SABA dirasakan dapat memberi efek lega secara  cepat, dan telah menjadi lini pertama terapi asma sejak lama.

"Sebenarnya penggunaan  inhaler pelega SABA secara teratur, dapat mengurangi efek atau manfaatnya, sehingga untuk  mendapatkan efek yang sama, diperlukan lebih banyak inhalasi atau obat.

"Terlebih lagi  penggunaan SABA secara berlebih dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan asma,  rawat inap karena asma, bahkan kematian. 

"Selain itu, pengobatan asma dengan hanya menggunakan inhaler pelega SABA tidak lagi  direkomendasikan, karena SABA tidak mengatasi peradangan yang mendasari asma," terangnya.

Baca Juga: Ini Hal yang Wajib Diperhatikan sebelum Ajak Anak Penderita Asma Berolahraga

"Sebagai gantinya, pasien asma harus mendapat pengobatan yang mengandung ICS (antiradang/anti inflamasi), contohnya kombinasi ICS-Formoterol, untuk mengurangi risiko  serangan asma. Pasien asma dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter untuk  memastikan kondisi asma terkontrol dan mendapatkan tindakan yang tepat, bukan hanya  mencari pengobatan instan saat serangan asma muncul," tambahnya. 

Studi Global Burden of Disease (GBD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa diperkirakan  terdapat 262 juta orang yang terkena asma di seluruh dunia, dengan faktor penting di mana  inhaler pelega dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit mereka, tetapi karena  kurangnya pengobatan terhadap kondisi peradangan yang mendasarinya, hal tersebut  sebenarnya menempatkan pasien pada risiko yang lebih besar terhadap serangan asma

Untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien asma di Indonesia, kampanye  'Stop Ketergantungan' pun digagas. Kampanye ini bertujuan untuk mengukur risiko  ketergantungan yang berlebihan terhadap SABA dan untuk menjembatani diskusi antara  tenaga kesehatan profesional dan pasien asma untuk pengobatan asma yang optimal. 

Dari sudut pandang pasien, Zaskia Adya Mecca, seorang istri dan ibu dari pasien Asma  menjelaskan pengalaman pribadinya yang hidup bersama suami dan anak-anak yang mengidap asma.

"Hidup bersama suami dan anak-anak, saya pun tahu bahwa terkadang sulit  bagi penderita asma untuk konsisten mengikuti pengobatan yang harus dijalaninya, oleh  karena itu, dorongan seperti kampanye 'Stop Ketergantungan' ini sangat penting," kata Zaskia Mecca.

"Saya  menyaksikan sendiri, ketika kami melakukan konsultasi rutin dan menggunakan perawatan  dengan kandungan ICS, kondisinya berubah secara signifikan, dan itu terlihat dari penurunan  gejala serta serangan yang terjadi di keluarga saya," imbuhnya. 

Untuk menumbuhkan kesadaran pasien asma akan kondisi mereka, kampanye 'Stop  Ketergantungan' menyediakan media digital berbasis bukti yaitu tes ketergantungan pelega,  yang dapat dibuka di www.stopketergantungan.id untuk menilai tingkat ketergantungan  pasien terhadap inhaler pelega SABA.

Tes ini diadaptasi dari Kuesioner Risiko SABA yang  telah divalidasi.

Dengan mengikuti tes ini, pasien asma akan memahami risiko dan  kecenderungan ketergantungan yang berlebihan terhadap SABA, sehingga dapat  berkonsultasi dengan tenaga kesehatan profesional untuk menentukan langkah selanjutnya  dalam pengobatan dan penanganan asma yang mereka butuhkan. 

Baca Juga: BERITA TERPOPULER WELLNESS: Mengenal Apa Itu Hurry Sickness hingga Cara Mencegah Asma Seperti Dialami Anak Zaskia Mecca

(*)

 

Rutin Lakukan Donor Darah? Ini Manfaatnya untuk Fisik dan Mental