Tujuan Terkait

Hari Buruh, 6 Masalah Pekerja Perempuan yang Masih Jadi Catatan

Linda Fitria - Senin, 1 Mei 2023
Foto buruh melakukan aksi peringatan Hari Buruh Internasional 2019 di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Foto buruh melakukan aksi peringatan Hari Buruh Internasional 2019 di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (1/5/2019). KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Masalah ini bisa berujung pada hilangnya pekerjaan perempuan karena pemutusan kontrak atau tidak dilanjutkannya kontrak kerja.

4. Pelecehan seksual

Tidak bisa dimungkiri, masih banyak kejadian pelecehan yang dialami para pekerja perempuan.

Layanan seksual dijadikan alat untuk promosi jabatan/reward atau jika menolak memberikan layanan seksual akan didemosi atau dinilai performanya tidak baik.

Kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja ini menyebabkan buruh perempuan tertekan, produktivitas menurun, kesehatan mental terganggu dan menyebabkan keluarnya perempuan dari pekerjaan.

Berbagai ancaman tersebut masih ada sampai sekarang dan dialami banyak buruh perempuan di Indonesia.

5. Dampak kekerasan berbasis gender pada perempuan

Banyak perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Segala macam bentuk kekerasan ini akhirnya membuat produktivitas perempuan menurun.

Mereka yang menjadi korban di luar tempat kerja akan banyak menjalani pemulihan fisik maupun psikologis.

Baca Juga: Hari Buruh 2023, Ini Solusi Kemnaker untuk Kesenjangan Lowongan Kerja Perempuan

Belum lagi jika harus mengurus berbagai klaim keadilan melalui proses peradilan.

Hal itu tentu menyita waktu dan membuat perfoma kerja para korban dinilai menurun. Akhirnya, mereka memilih untuk diam dan tidak melapor karena khawatir akan kehilangan pekerjaan.

6. Pekerjaan sektor domestik dipandang sebelah mata

Banyak pekerjaan di sektor domestik tidak dihargai layaknya pekerjaan di sektor publik.

Sektor publik dinilai produktif karena menghasilkan upah atau bayaran, ini membuat sektor domestik dinilai tidak produktif.

Pekerjaan kerumahtanggaan dan perawatan (merawat orang sakit, lansia, disabilitas atau anak) dinilai lebih rendah.

"Hal ini menyebabkan perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga tidak dihargai secara setara dan membangun inferioritas perempuan."

"Begitupun pekerjaan pekerja rumah tangga (PRT) tidak diakui sebagai pekerja dan tidak dijamin hak-hak dasarnya," pungkas Siti Aminah.

Baca Juga: Hari Buruh 2023, Ini Hak Pekerja Perempuan dari Cuti Haid hingga Melahirkan

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.