Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Kesetaraan Gender

Anneila Firza Kadriyanti Minggu, 16 April 2023
Bagaimana perempuan bisa memanfaatkan artificial intelligence (AI), atau kecerdasan buatan, untuk memajukan kesetaraan gender di dunia maya.
Bagaimana perempuan bisa memanfaatkan artificial intelligence (AI), atau kecerdasan buatan, untuk memajukan kesetaraan gender di dunia maya. Wanlee Prachyapanaprai

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

 

Parapuan.co - Pada 29 Maret silam, sejumlah para petinggi perusahaan eksekutif dan peneliti di bidang kecerdasan buatan mengeluarkan morotarium untuk menghentikan pengembangan artificial intelligence (AI) selama enam bulan.

Salah satu tokoh yang ikut menyetujui morotarium ini adalah biliuner teknologi yang juga pendiri Tesla, Elon Musk.

Alasan para petinggi dan peneliti mengeluarkan morotarium adalah karena AI, kecerdasan buatan, dianggap dapat membahayakan kemanusiaan.

Bahwasanya manusia belum siap untuk menerima kecerdasan buatan yang berpotensi mengancam otonomi manusia (Pew Research Center, 2018).

Bahkan kemampuan komputerisasi AI dinilai dapat melampaui kecerdasan manusia, sehingga berpotensi bahwa hidup manusia akan dikendalikan oleh mesin.

Rasa Takut yang Tak Semestinya

Kekhawatiran terhadap kemampuan AI semakin menjadi-jadi tatkala pada November 2022 lalu OpenAI berhasil meluncurkan chatbot ChatGPT 3.5 berbasis kecerdasan buatan yang luar biasa.

ChatGPT nyaris dapat mengerjakan apapun yang biasa dilakukan oleh manusia meskipun kemampuannya masih berupa teks.

Saat ini, ChatGPT 4 mulai diluncurkan dengan kemampuan yang jauh lebih baik dari pendahulunya.

Baca Juga: Sinopsis Serial Humans, Angkat Kisah Robot AI yang Mengancam Masa Depan Manusia

ChatGPT memiliki kemampuan untuk dapat merespon pembicaraan nyaris seperti ketika kita berbicara dengan manusia.

Bahkan chatbot ini dapat melakukan tugas yang membutuhkan kecerdasan tinggi, seperti menulis sebuah cerita novel dan membuat sebuah kode pemrograman komputer.

Tak heran jika kemampuan ChatGPT dan AI ke depannya malah ditakutkan akan mengganti kerja manusia, terutama dalam hal berpikir dan membuat keputusan.

Padahal kecemasan ini tak sepenuhnya berdasar, sebab eksistensi AI sudah pasti menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindarkan dalam kehidupan di masa yang serba terdigitalisasi dan terangkum dalam sebuah big data algoritma komputer.

Jikapun AI dianggap sebagai suatu sistem yang riskan, seharusnya ini menjadi pengingat dan waktu bagi manusia untuk mengevaluasi kecerdasan dan kebijaksanaannya.

Sebelum ChatGPT mengejutkan dunia dengan kemampuannya, manusia telah lebih dulu ‘takluk’ terhadap ‘keputusan-keputusan’ yang diciptakan oleh algoritma media sosial.

Algoritma yang membentuk kehidupan dan identitas pengguna internet demi pengakuan eksistensi lewat jumlah likes dan penambahan followers/subscribers.

AI, dan khususnya ChatGPT, telah lebih dulu memberikan peringatan bahwa ia hanya merupakan sistem pemodelan bahasa yang tidak memiliki pikiran, kehendak bebas, bahkan perasaan.

Maka ChatGPT sepatutnya dijadikan seperti semacam co-pilot yang membantu mempermudah pekerjaan manusia, namun tak akan pernah bisa menggantikan peran manusia.

Baca Juga: Mengenal Profesi Artificial Intelligence Specialist yang Menjanjikan

Oleh karenanya, di hadapan ChatGPT dan penciptaan kecerdasan buatan berikutnya di masa mendatang, ini merupakan waktu yang tepat bagi manusia untuk menunjukkan kuasa dan kehendaknya untuk menjadikan kecerdasan buatan hanya sekedar sebagai asisten yang membantu, bukan pengganti kerja manusia!

Menggunakan AI Untuk Promosi Kesetaraan Gender

Selayaknya sebuah mesin buatan manusia, tak heran jika suatu produk teknologi masih memuat eror dan ketidaksempurnaan.

Akan tetapi, kegigihan manusia dalam mengembangkan perangkat teknologi akan semakin memperbaiki sistem kecerdasan buatan, sehingga AI menjadi sebuah alat yang berkomitmen terhadap kemanusiaan.

Di antara sekian banyak kemampuan ChatGPT yang dielukan, chatbot besutan OpenAI ini berkomitmen untuk melawan, menangkal, dan menghindari narasi-narasi diskriminatif dan tidak patut.

AI kian diperbaiki agar kelak bisa mencegah penyebaran hoaks dan menghentikan ujaran kebencian dari topik-topik sensitif yang mencederai perasaan manusia.

Tentunya ini merupakan kabar baik bagi perempuan yang selama ini berkutat melawan ketidaksetaraan atau diskriminasi gender di beragam bidang.

Menyuarakan kesadaran terhadap pentingnya kesetaraan gender di dunia nyata dan di dunia maya akan semakin mudah, masif, dan signifikan dengan adanya bantuan artificial intelligence yang dapat turut mempromosikan keadilan gender.

Internet selama ini dipandang sebagai ruang yang memberikan kesetaraan dan kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi.

Nyatanya ruang digital bagi patriarki tak lebih baik sebab merupakan perpanjangan realitas dari dunia offline yang kental dengan dominansi patriarki.

Perempuan kerap mengalami diskriminasi di dunia nyata, seperti kehilangan kesempatan bekerja karena identitas keperempuanannya dan juga mengalami kejahatan seksual.

Tak lebih diskriminasi ini pun ikut berpindah ke dunia maya dalam bentuk yang lebih ekstrem meski tidak terlihat secara fisik.

Doxing, trolling, pencurian identitas, body shamming, humiliating, hingga ancaman pelecehan seksual, adalah beragam kriminalitas yang dialami perempuan di dunia online.

Jumlah statistiknya pun kian meningkat dari tahun ke tahun sejak tahun 2016, terutama terjadi lonjakan di masa Pandemi Covid-19 ketika semua aktivitas berpindah secara online (Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan, 2023).

Artificial intelligence dapat dimanfaatkan oleh perempuan untuk melawan narasi-narasi seksisme di dunia online dan dunia nyata yang digunakan untuk membisukan aktivitas dan ekspresi perempuan.

AI menciptakan wacana-wacana yang dapat mempromosikan keadilan gender agar peran perempuan di segala bidang semakin memiliki representasi yang kian besar, terutama di bidang krusial yang selama ini menjadi dominansi laki-laki seperti ekonomi, politik, dan militer.

Upaya yang dapat dilakukan saat ini dalam menciptakan sistem kecerdasan buatan agar bebas bias gender salah satunya adalah dengan menggalakkan minat dan kuantitas perempuan untuk tertarik terhadap STEM (science, technology, engineering, and mathematics) yang selama ini juga menjadi ‘penguasaan’ laki-laki.

Ketidakramahan ruang virtual yang selama ini dialami perempuan salah satunya disebabkan karena sistem digital dibangun oleh mayoritas teknisi dan insinyur laki-laki.

Kurangnya representasi perempuan dalam STEM menjadikan perempuan kurang mendapat tempat saat membangun ekosistem digital yang pada akhirnya tidak mempertimbangkan perspektif perempuan.

Akibatnya internet menjadi salah satu ruang tak aman terhadap perempuan.

Representasi perempuan di bidang STEM pun adalah prioritas utama di era digital ini, sehingga segala sistem digital apapun yang nantinya akan dibuat di masa depan akan selalu memasukkan perspektif perempuan.

Termasuk ke depannya AI akan kerap menciptakan narasi-narasi non-diskriminatif yang bebas bias gender.

Tidak Ada Alasan Untuk Menolak AI

Melihat besarnya potensi AI untuk membangun suatu ekosistem digital yang bebas diskriminasi gender, sungguh merupakan kesalahan besar apabila pengembangan AI harus mengalami penundaan, dihentikan, dan dihindari karena alasan takut merusak kemanusiaan.

Sebaliknya, AI malah mampu menghadirkan wacana alternatif yang berbasis keadilan dan kemanusiaan.

Pesimisme terhadap pengembangan kecerdasan buatan justru semakin memperlambat upaya dalam menciptakan sebuah kondisi yang bebas sentimen rasisme, seksisme, dan macam phobia lain yang merusak kemanusiaan manusia.

Teknologi memang tak sempurna. Sudah pasti akan muncul kemungkinan bahaya laten yang disebabkan oleh teknologi. Namun selama ini tak pernah menghentikan manusia untuk terus menggunakan gawai dan menjadi konsumen konten digital.

Jadi, sebenarnya tidak ada alasan cukup kuat saat ini untuk menolak pengembangan kecerdasan buatan.

Seharusnya ini menjadi masa bagi manusia untuk membuktikan daulatnya sebagai pengontrol teknologi. Don’t you dare to try??? (*)