Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Kesetaraan Gender

Anneila Firza Kadriyanti Minggu, 16 April 2023
Bagaimana perempuan bisa memanfaatkan artificial intelligence (AI), atau kecerdasan buatan, untuk memajukan kesetaraan gender di dunia maya.
Bagaimana perempuan bisa memanfaatkan artificial intelligence (AI), atau kecerdasan buatan, untuk memajukan kesetaraan gender di dunia maya. Wanlee Prachyapanaprai

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Perempuan kerap mengalami diskriminasi di dunia nyata, seperti kehilangan kesempatan bekerja karena identitas keperempuanannya dan juga mengalami kejahatan seksual.

Tak lebih diskriminasi ini pun ikut berpindah ke dunia maya dalam bentuk yang lebih ekstrem meski tidak terlihat secara fisik.

Doxing, trolling, pencurian identitas, body shamming, humiliating, hingga ancaman pelecehan seksual, adalah beragam kriminalitas yang dialami perempuan di dunia online.

Jumlah statistiknya pun kian meningkat dari tahun ke tahun sejak tahun 2016, terutama terjadi lonjakan di masa Pandemi Covid-19 ketika semua aktivitas berpindah secara online (Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan, 2023).

Artificial intelligence dapat dimanfaatkan oleh perempuan untuk melawan narasi-narasi seksisme di dunia online dan dunia nyata yang digunakan untuk membisukan aktivitas dan ekspresi perempuan.

AI menciptakan wacana-wacana yang dapat mempromosikan keadilan gender agar peran perempuan di segala bidang semakin memiliki representasi yang kian besar, terutama di bidang krusial yang selama ini menjadi dominansi laki-laki seperti ekonomi, politik, dan militer.

Upaya yang dapat dilakukan saat ini dalam menciptakan sistem kecerdasan buatan agar bebas bias gender salah satunya adalah dengan menggalakkan minat dan kuantitas perempuan untuk tertarik terhadap STEM (science, technology, engineering, and mathematics) yang selama ini juga menjadi ‘penguasaan’ laki-laki.

Ketidakramahan ruang virtual yang selama ini dialami perempuan salah satunya disebabkan karena sistem digital dibangun oleh mayoritas teknisi dan insinyur laki-laki.

Kurangnya representasi perempuan dalam STEM menjadikan perempuan kurang mendapat tempat saat membangun ekosistem digital yang pada akhirnya tidak mempertimbangkan perspektif perempuan.

Akibatnya internet menjadi salah satu ruang tak aman terhadap perempuan.

Representasi perempuan di bidang STEM pun adalah prioritas utama di era digital ini, sehingga segala sistem digital apapun yang nantinya akan dibuat di masa depan akan selalu memasukkan perspektif perempuan.

Termasuk ke depannya AI akan kerap menciptakan narasi-narasi non-diskriminatif yang bebas bias gender.

Tidak Ada Alasan Untuk Menolak AI

Melihat besarnya potensi AI untuk membangun suatu ekosistem digital yang bebas diskriminasi gender, sungguh merupakan kesalahan besar apabila pengembangan AI harus mengalami penundaan, dihentikan, dan dihindari karena alasan takut merusak kemanusiaan.

Sebaliknya, AI malah mampu menghadirkan wacana alternatif yang berbasis keadilan dan kemanusiaan.

Pesimisme terhadap pengembangan kecerdasan buatan justru semakin memperlambat upaya dalam menciptakan sebuah kondisi yang bebas sentimen rasisme, seksisme, dan macam phobia lain yang merusak kemanusiaan manusia.

Teknologi memang tak sempurna. Sudah pasti akan muncul kemungkinan bahaya laten yang disebabkan oleh teknologi. Namun selama ini tak pernah menghentikan manusia untuk terus menggunakan gawai dan menjadi konsumen konten digital.

Jadi, sebenarnya tidak ada alasan cukup kuat saat ini untuk menolak pengembangan kecerdasan buatan.

Seharusnya ini menjadi masa bagi manusia untuk membuktikan daulatnya sebagai pengontrol teknologi. Don’t you dare to try??? (*)